TEMPO.CO , Jakarta:-“Awalnya menggemaskan, belakangan mencemaskan.” Begitulah gambaran perasaan nyonya Silvia, warga Muara Bungo, Jambi, tentang kondisi kedua anaknya yang kini mengalami obesitas. Berat badan Eldian, 16 tahun, mencapai 106 kilogram, sedangkan Elvin, 9 tahun, si adik, berbobot 94 kilogram.
Silvia ingat betul betapa senang dan gemasnya ia dan keluarga melihat pipi anaknya montok saat berusia di bawah 5 tahun (balita). Namun, setelah berat badan si anak terus bertambah sejalan dengan bertambahnya usia, perasaannya mulai deg-deg-plas. Ia tahu bahwa obesitas bisa mengundang penyakit. Dan kondisi itulah yang kemudian dialami Eldian: ia didiagnosis diabetes.
“Kadar gula darah Eldian sempat mencapai 575 miligram per desiliter,” kata Silvia saat ditemui Tempo di Grand Indonesia, Jakarta, Jumat malam lalu. Padahal normalnya 70-120 mg/dL. Pengusaha roti itu pun shocked. Selain diabetes, belakangan diketahui kadar kolesterol Eldian tinggi.
Tidak ingin terjadi hal yang lebih buruk, Silvia pun memburu berbagai pengobatan untuk Eldian hingga akhirnya bertemu dengan dokter Aman Bhakti Pulungan, ahli endokrinologi anak dari FKUI-RSCM Jakarta.
Walhasil, selain pengaturan pola makan, terapi pun didapat, termasuk suntikan insulin setiap hari. Tak mau kondisi yang dialami Eldian terjadi pada Elvin, sudah setahun ini, Silvia rutin membawa Elvin dari Jambi ke Jakarta untuk kontrol kesehatan.
“Tadi pagi, Eldian kontrol. Semua hasilnya bagus. Gula darah dan kolesterol sudah normal semua,” kata Aman. Sabtu pagi lalu, Eldian memang melakukan kontrol di sebuah klinik swasta di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, tempat Aman berpraktek. “Sekarang Eldian sudah menyetop insulin. Pola makan tetap diatur dan hidup sehat. Kontrol nanti 6 bulan lagi.”
Menurut Aman, obesitas pada anak--usia hingga di bawah 18 tahun menurut undang-undang perlindungan anak--merupakan masalah serius. Sebab, angkanya terus merangkak naik. Hasil riset kesehatan dasar pada 2007 menunjukkan obesitas pada balita sebesar 12 persen. Pada 2010, angka penderita obesitas pada anak kembali naik menjadi 14 persen.
“Setiap hari di tempat praktek selalu ada pasien obesitas anak yang baru,” kata Aman, yang juga menjabat Ketua Pengurus Pusat IDAI, akun Facebook-nya awal bulan ini. “Ini sangat menakutkan karena tidak ada awareness bahwa obesitas adalah diagnosis suatu penyakit.”
Sejumlah literatur menyebut sejumlah komplikasi yang mungkin terjadi pada anak obesitas. Selain diabetes dan kolesterol tinggi, seperti yang dialami Eldian, penyakit lain yang mungkin timbul adalah risiko stroke, hipertensi, dan penyakit jantung koroner.
Karena itu, obesitas pada anak bisa menjadi bom waktu lengkap dengan berbagai risiko komplikasi penyakit yang menyertainya jika tidak diikuti dengan penanganan yang tepat dan segera. Sekadar pembanding, di Amerika Serikat, Ibu Negara Michelle Obama langsung turun ke sekolah-sekolah dan ikut berkampanye memerangi obesitas, sehingga program pengendalian obesitas di negara ini berjalan dengan baik.
Menurut dokter Saptawati Bardosono, ahli nutrisi dari Departemen Ilmu Gizi FKUI-RSCM, obesitas pada anak terjadi karena asupan kalori yang berlebihan, terutama dari makanan manis dan berlemak. Di sisi lain, aktivitas anak tersebut kurang lantaran asyik dengan permainan yang serba elektronik, atau kurang fasilitas olahraga. Karena itu, untuk menangani obesitas, selain meningkatkan aktivitas fisik, “Hindari makanan padat kalori, seperti fast food serta snack manis dan berlemak.”
Bantuan ahli gizi untuk mengatur asupan kalori, Saptawati menegaskan, juga tak bisa dielakkan agar kebutuhan kalori terpenuhi tanpa harus mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tubuh si anak.
Program ini pula yang kini dijalani Eldian dan Elvin. Memang tak gampang, tapi Eldian bertekad mengikutinya. “Ingin punya berat badan ideal? Mesti adalah itu,” kata Eldian, sebelum beranjak ke sebuah toko buku di Grand Indonesia.
| DWI WIYANA