TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman penjara dua tahun dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Timas Ginting, Kepala Subbagian Tata Usaha Direktorat Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan (PSPK) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Ginting dinyatakan terbukti korupsi dalam proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
“Terdakwa terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan telah merugikan keuangan negara,” kata ketua majelis hakim Herdi Agusten, Senin, 27 Februari 2012. Vonis hakim ini lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yang mencapai tiga tahun penjara.
Menurut majelis hakim, hal yang memberatkan hukuman Timas adalah saat perbuatan dilakukan, negara sedang giat memberangus korupsi. Adapun hal yang meringankan, terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya, belum pernah dihukum sebelumnya, memiliki tanggungan keluarga, dan proyek PLTS sudah selesai digarap.
Timas terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana dakwaan kedua. Menurut hakim, Timas dinyatakan tidak terbukti menikmati keuntungan materi untuk dirinya sendiri, sehingga jeratan Pasal 18 UU Tipikor lepas darinya. "Ketentuan membayar uang pengganti tidak dibebankan pada terdakwa," ujar Herdi.
Hakim menilai Timas terbukti menguntungkan orang lain serta korporasi dari proyek senilai total Rp 8,9 miliar. PT Alfindo Nuratama, yang dimiliki Muhammad Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni, disebut meraup keuntungan Rp 2,7 miliar. Putusan hakim soal ini berbeda dengan tuntutan jaksa. Dalam tuntutannya, jaksa menyebut duit Rp 2,7 miliar dinikmati Nazar dan Neneng.
Cara Timas memperkaya diri sendiri dan orang lain adalah dengan cara melakukan intervensi terhadap Sigit Mustofa Nurudin selaku ketua panitia pengadaan. Pada Juni 2008, ia memerintah Sigit menyamakan harga perkiraan sendiri dengan pagu anggaran sebesar Rp 8,8 miliar. Timas kemudian juga memerintahkan panitia pengadaan menyusun dokumen pelelangan umum. Dokumen ini direkayasa sehingga pekerjaan di empat lokasi di Lampung dan Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, menjadi satu paket kegiatan. Tindakan itu melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Lelang kemudian diikuti oleh delapan perusahaan, salah satunya PT Alfindo Nuratama. Perusahaan milik Arifin Ahmad itu diketahui hanya dipinjam benderanya oleh Marisi Matondang dan Mindo Rosalina Manulang atas sepengetahuan Nazaruddin dan Neneng.
Timas kemudian mengubah spesifikasi angka komponen pengujian teknis agar produk solar modul yang ditawarkan PT Alfindo memenuhi persyaratan teknis. Pada 5 September 2008, Timas pun memerintahkan Sigit dan Sudaryono agar memilih PT Alfindo sebagai pemenang lelang.
Kemudian pada 28 Oktober 2008, dilakukan addendum I atas perjanjian, yang meliputi perubahan harga borongan. Setelah perjanjian itu ditandatangani, Neneng, Nazaruddin, Marisi, dan Mindo melakukan beberapa kali pertemuan dengan Rustini dan Arif Lubis dari PT Sundaya Indonesia, yang kemudian menyepakati proyek dikerjakan PT Sundaya.
"Terdakwa mengetahui yang mengerjakan proyek PLTS adalah PT Sundaya Indonesia, namun tidak memutuskan kontrak dengan PT Alfindo Nuratama Perkasa. Bahkan sebaliknya, terdakwa membayar PT Alfindo Nuratama Perkasa sebesar Rp 8,047 miliar, yang mana rekening tersebut dikuasai Neneng Sri Wahyuni," kata Herdi.
Timas juga dinilai terbukti korupsi dalam proses pengawasan proyek PLTS. Mulanya, Timas memperkenalkan Yultido Ichwan selaku penanggung jawab kegiatan kepada Dini Siswandini dari PT Qorina Konsultan Indonesia. Kemudian Timas memerintahkan panitia menunjuk PT Qorina sebagai pemenang pekerjaan pengawasan pengadaan dan pemasangan PLTS.
Jaksa Dwi Aries menyatakan pikir-pikir banding atas putusan tersebut. Demikian pula Timas, belum menyatakan banding. Namun, menurut pengacara Timas, Heber Sihombing, putusan hakim cukup ringan untuk kliennya. "Fakta Timas memberikan uang ke sejumlah orang tak terbukti," katanya seusai sidang.
ISMA SAVITRI