TEMPO.CO, Jakarta - Nama Yawadwipa Group of Companies mencuat ke permukaan. Perusahaan investasi asal Singapura yang baru berdiri pada 9 Januari 2012 itu menyatakan siap membeli Bank Mutiara seharga Rp 6,7 triliun. Angka itu setara dengan dana talangan yang dikucurkan pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada bank yang dulunya bernama Century itu tiga tahun lalu.
Penawaran ini mengejutkan. Pengamat perbankan menaksir harga wajar bank bekas milik Robert Tantular itu saat ini Rp 3 triliun hingga Rp 3,5 triliun saja. Tahun lalu LPS mendiskualifikasi sembilan penawar Bank Mutiara karena dianggap tak jelas investor utamanya.
Kini Yawadwipa muncul dengan teka-teki baru: angka Rp 6,7 triliun dianggap terlalu berlebihan untuk satu bank bermasalah yang kasus politiknya bahkan belum tuntas. Meski secara teknis rencana Yawadwipa mengakuisisi Bank Mutiara dari LPS dibolehkan, sejumlah dugaan merebak.
Alasan bahwa pembelian ini “murni bisnis” tak cukup meyakinkan khalayak. Ada yang mencurigai campur tangan pemilik lama, ada pula yang mereka-reka dugaan keterlibatan beberapa pengusaha besar. Ada pula yang menaruh syak, jangan-jangan ini pencucian uang, mengingat angka Rp 6,7 triliun setara dengan dana yang dikucurkan oleh LPS pada 2008.
Dalam “kegelapan” itu, muncul Prasetyo Singgih, 45 tahun. Dia Chief Operating Officer & General Counsel Yawadwipa Group of Companies. Pengacara yang pernah bergerak di bidang asuransi dan sekuritas ini tiba-tiba banyak diuber wartawan.
Singgih Prasetyo punya “hubungan” dengan keluarga Cendana. Kakaknya, Pratikto Singgih, adalah mantan suami Siti Hutami Endang Adiningsih atau Mamiek Soeharto. Prasetyo tercatat sebagai anggota Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.
Wartawan Tempo Andari Karina Anom, Bobby Candra, dan Nugroho Dewanto menemui Prasetyo di Capital Grille Kitchen and Wine di Jakarta Selatan, pekan lalu. Sebelumnya majalah ini pernah mewawancarai dia di Hotel Sheraton Bandara, Tangerang. Karina Anom menuliskan hasil seluruh perbincangan, dilengkapi pemotretan oleh fotografer Tempo Bismo Agung.
Petikan wawancara selengkapnya dapat Anda baca di majalah Tempo Edisi 27 Februari-4 Maret 2012.
Apa sebetulnya yang menarik dari Bank Mutiara?
Sebagai private equity fund yang baru, kami menyatakan minat berinvestasi di salah satu aset. Fokus kami ada di tiga sektor: keuangan dan perbankan, infrastruktur, dan energi. Dari keuangan dan perbankan, saat ini yang kami lihat potensial adalah Bank Mutiara.
Oh ya? Seberapa besar potensi bisnisnya?
Pertumbuhannya dalam tiga tahun ini amat spektakuler. Kami berharap dan yakin Bank Mutiara bisa menjadi lebih baik lagi. Soal berapa nilainya, kami belum tahu karena kami belum melakukan uji tuntas non-performing loan dan aset-asetnya. Kami masih menunggu data lengkap untuk bisa memahami Bank Mutiara.
Angka penawaran Yawadwipa senilai Rp 6,7 triliun dianggap terlalu tinggi. Menurut hitungan para ekonom, nilai realistis Bank Mutiara hanya sekitar 3,5 triliun. Komentar Anda?
Angka Rp 6,7 triliun tak berasal dari pihak kami, melainkan angka yang mungkin diinginkan tercapai. Proses ini masih amat awal, kami baru menyampaikan minat. Setelah diterima, baru kami bisa memasukkan penawaran, mempelajari, dan melakukan evaluasi terhadap keadaan sebenarnya dari aset tersebut. Setelah itu, kalau kami sudah yakin dengan nilainya, kami akan mengajukan angka yang saat ini kami belum tahu berapa. Kami tak mau gegabah mengajukan satu penawaran. Siapa pun yang akan menjadi investor tentu akan mempertimbangkan nilai yang pantas untuk Bank Mutiara.
BOBBY CHANDRA