TEMPO Interaktif, Surabaya - Keharusan bagi mahasiswa sarjana dan pascasarjana menulis karya ilmiah di jurnal nasional atau internasional dinilai hanya akan meningkatkan budaya penjiplakan atau plagiarisme di perguruan tinggi. "Realitasnya, plagiat kita masih tinggi dan ini sering dijumpai dibanyak bidang," kata Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Zainuddin Maliki, Senin, 27 Februari 2012.
Zainuddin, yang juga rektor Universitas Muhammadiyah ini mengatakan, praktek meniru karya ilmiah sebenarnya berawal dari upaya mahasiswa untuk mencari referensi materi. Namun, minimnya pengetahuan yang mereka miliki membuat mahasiswa malas dan hanya mengganti objek penelitian dengan karya yang semula menjadi referensinya.
Ia menyarankan perlunya diatur mekanisme yang jelas terkait proses publikasi karya ilmiah ini. Misalnya, publikasinya harus dilakukan dengan transparan melalui media-media online. Zainuddin yakin cara ini akan meminimalisir proses penjiplakan. "Kalau semua dipublikasikan dengan transparan, dengan sendirinya pelaku plagiat akan malu untuk menjiplak," kata dia.
Direktur Yayasan Hotline Surabaya Isa Anshori membenarkan soal masih maraknya praktik plagiat di internal mahasiswa. "Kalau kita jeli, banyak penelitian yang latar belakang dan metode penelitiannya sama. Hanya judul dan objek penelitian saja yang berbeda," kata dia.
Isa berharap, sebelum aturan baru ini diterapkan, seluruh mahasiswa mulai sarjana maupun pascasarjana harus dibiasakan dulu untuk melakukan penulisan karya ilmiah. "Kalau aturannya langsung diterapkan, saya yakin semua tidak siap dan akhirnya ya akan menyuburkan plagiat," tambah Isa.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran yang mewajibkan kepada mahasiswa jenjang S1, S2, dan S3 memiliki karya ilmiah yang harus dipublikasikan di jurnal nasional maupun jurnal internasional.
Fatkhurrohman Taufiq