TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim memvonis terdakwa pimpinan teroris bom buku, Pepi Fernando, selama 18 tahun penjara. "Terdakwa secara sah dan menyakinkan melakukan tindak terorisme," kata Ketua Majelis Hakim, Moestafa, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 5 Maret 2012.
Moestafa menyatakan vonis penjara Pepi masih dikurangi masa tahanan yang sudah ia jalani. Dalam pembacaan vonis, majelis hakim juga meminta Pepi tetap berada di rumah tahanan. Barang bukti dikembalikan ke jaksa karena masih digunakan untuk sejumlah perkara. Hakim juga mengenakan Pepi beban perkara sebesar Rp 5.000.
Majelis menyatakan Pepi selama persidangan sopan dan kooperatif. Pepi selalu menyatakan secara tegas dan jujur semua yang sudah dilakukannya. Akan tetapi, menurut Moestafa, hal yang memberatkan Pepi adalah sikap tidak menyesal atas aksinya yang memakan korban.
Pepi hadir dalam persidangan dengan pakaian gamis warna hitam dan sorban bermotif kotak-kotak merah putih. Dia tampak ceria dan seringkali melempar senyum ke arah peserta sidang dan wartawan.
Pepi juga tampak tenang dan masih bisa tersenyum setelah mendengar vonis dari majelis hakim. Kuasa hukum Pepi, Asluddin Hadjani, menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atau tidak. Hal serupa juga dinyatakan jaksa atas vonis yang jauh dari tuntutan ini.
Jaksa mendakwa Pepi Fernando dengan Pasal 14 juncto Pasal 6, Pasal 14 juncto Pasal 7 dan Pasal 14 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jaksa juga mendakwa Pepi dengan Pasal 15 juncto Pasal 6 Undang-Undang Terorisme dan Pasal 15 juncto Pasal 9 karena menggunakan senjata api dan bahan peledak.
Jaksa Rini Hartatie sendiri menuntut Pepi dengan hukuman seumur hidup. Pepi dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana terorisme. Pepi juga dianggap terbukti bermufakat mencoba melakukan teror, merusak bangunan, serta meresahkan masyarakat.
Tuntutan yang diajukan jaksa telah sesuai dengan fakta menyangkut korban luka dan korban jiwa, yaitu tuntutan sesuai dengan dampak yang dirasakan korban jiwa dan korban luka. Aksi teror yang dilakukan terdakwa juga dengan jelas telah menimbulkan trauma bagi masyarakat, khususnya ketakutan dan kengerian massal akan terjadinya teror bom.
"Kami beri waktu tujuh hari untuk pikir-pikir," kata Moestafa.
Pepi bersama 16 anggota kelompoknya terlibat dalam enam tindak pidana terorisme dari Agustus 2010 sampai April 2011.
Mereka merakit bom termos yang ditujukan bagi rombongan Presiden SBY dan diletakkan di daerah Cawang. Pada Maret 2011, mereka juga merakit bom buku. Bom ini kemudian dikirim ke Endriarto Anas, musisi Ahmad Dhani, Ulil Abshar Abdalla, dan Goris Mere.
Pada bulan yang sama, Pepi kembali berupaya menyerang rombongan Presiden SBY dengan sebuah bom berbentuk kotak yang diletakkan di pinggir Jalan Raya Alternatif Cibubur.
Mereka juga mencoba menyerang Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di daerah Tangerang Selatan, tapi gagal.
Pepi dan kelompoknya juga batal berencana meledakkan sebuah gereja di daerah Kranji, Bekasi. Mereka justru memindahkan sasarannya di sebuah jembatan di Kanal Banjir Timur yang dua hari kemudian menewaskan seorang pemulung di lokasi.
Terakhir, mereka kembali merencanakan serangan di Gereja Christ Cathedral Serpong dengan bom yang berbentuk pipa. Sebelum bom itu meledak, Pepi tertangkap di Aceh pada 21 April 2011.
FRANSISCO ROSARIANS