TEMPO.CO, Jakarta - PT Pertamina (Persero) berkukuh bahwa tambahan kuota bahan bakar minyak subsidi yang dikucurkan oleh pemerintah pada akhir tahun lalu adalah kebijakan yang tepat. "Memang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan riil," ujar juru bicara Pertamina, Mochammad Harun, Selasa, 6 Maret 2012.
Pernyataan itu otomatis membantah Komisi Energi DPR yang menilai penambahan kuota tidak sah karena dilakukan tanpa persetujuan DPR terlebih dulu. Komisi bahkan meminta Pertamina dan pemerintah memberikan penjelasan dalam rapat bersama anggota Dewan.
Pada 2011, pemerintah mengalokasikan BBM subsidi sebanyak 38,5 juta kiloliter pada awal tahun. Kemudian, angka ini diubah menjadi 40 juta kiloliter pada APBN-P. Namun, menjelang akhir tahun, kuota tersebut diperkirakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu, Pertamina mengajukan permintaan tambahan kuota melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas).
Pemerintah kemudian sepakat alokasi BBM subsidi bertambah jadi sebanyak 41,6 juta kiloliter. Putusan tambahan tersebut dihasilkan tanpa ada pembahasan di DPR dan menjadi masalah saat ini.
Harun menjelaskan, sebenarnya kuota awal BBM subsidi tidak perlu ada tambahan seandainya pemerintah dan DPR dapat segera memutuskan langkah penghematan melalui pembatasan konsumsi."Tapi langkah itu mundur-mundur terus sampai sekarang, tidak pasti. Sementara kebutuhan tetap harus dipenuhi," katanya.
Pertamina selaku penyalur tidak bisa menghentikan pasokan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan risiko yang bakal terjadi. "Kita bela kepentingan masyarakat. Dewan itu siapa sebenarnya?" kritik Harun.
Selain soal tambahan yang diberikan tanpa izin, Pertamina juga disalahkan karena dinilai tidak mampu mendistribusikan BBM secara baik, terutama mengingat masih terjadi kelangkaan di beberapa daerah di Indonesia.
Harun membantah hal tersebut. Menurut ia, Pertamina telah berupaya menyalurkan BBM tepat sasaran sesuai dengan kuota yang diberikan. Namun, di lapangan praktek penyimpangan memang sulit untuk dihindari. Terutama untuk daerah-daerah sekitar pertambangan, perkebunan dan industri. "Kuncinya di penegakan hukum, kami sudah berupaya menyalurkan," katanya.
Masalah penyimpangan ini, kata dia, kerap terjadi karena adanya disparitas yang tinggi antara harga BBM subsidi dan nonsubsidi pada waktu itu. Apabila disparitas mengecil, kemungkinan penyimpangan juga dapat menurun.
GUSTIDHA BUDIARTIE