TEMPO.CO, Makassar - Hardiana Patibunga, ibu yang menyandera dan mengancam akan membunuh anak kandungnya yang masih bayi, dilepaskan aparat Kepolisian Sektor Kota Panakkukang, Selasa, 6 Maret 2012. "Kita sudah mediasi dan selesaikan persoalan penyanderaan anak itu secara kekeluargaan," kata Kepala Polsekta Panakkukang, Komisaris Polisi Agung Setyo Wahyudi, di ruang kerjanya.
Menurut Agung, Hardiana tidak ditahan dalam kejadian pada Senin malam (5 Maret 2012) karena tak ada aduan. Selain itu, suami-istri, yakni Hardiana dan Yusran, yang bertikai pun sudah didamaikan. Keduanya bahkan diminta membuat surat pernyataan perdamaian itu. "Termasuk tak akan mengulangi perbuatannya yang membahayakan nyawa bayi bahkan nyawa orang lain," kata Agung.
Diketahui Hardiana nekat menyandera anak kandungnya, yakni Yusdianra, yang masih berusia delapan bulan. Dengan membawa dua pisau dapur, ibu bayi ini mengancam akan membunuh anak kandungnya. Perkaranya lantaran Hardiana kesal terhadap ulah suaminya yang masih berhubungan dengan mantan istrinya yang sekarang bekerja di Arab Saudi. "Jadi persoalannya ini dipicu karena cemburu," kata Agung.
Ia mengungkapkan bahwa Yusran sudah lama berpisah dengan istri pertamanya. "Belakangan, istri kedua ini lihat SMS Yusran dari istri pertama sehingga dia emosi dan nekat membahayakan nyawa anak kandungnya," kata Agung.
Bayi itu bisa diselamatkan setelah polisi menyergap Hardiana yang sudah lelah sekitar dua jam berteriak sambil menyandera anaknya.
Kepada polisi, Yusran mengatakan, meski perbuatan istrinya sudah kelewat batas, ia enggan melaporkan istrinya ke polisi mengingat anaknya masih kecil dan sangat butuh kasih sayang orang tuanya. Dia mengaku sudah berdamai dan menandatangani surat pernyataan. "Karena itu, kasus ini tak akan dilanjutkan," ujarnya.
Psikolog UNM, Widyastuti, mengatakan tindakan Hardiana yang menyandera bahkan mengancam membunuh anak kandungnya sangat di luar dugaan. Biasanya insting seorang ibu malah akan melindungi anaknya. "Kasihan anak itu. Efek trauma akibat kekerasan itu sangat besar. Mungkin tak kelihatan secara fisikn tapi di bawah alam sadarnya," kata Widyastuti.
Ancaman dan kekerasan anak berpotensi terus timbul pada si anak dalam jangka panjang. Bisa saja, misalnya, anak yang menjadi korban pengancaman dengan pisau akan selalu trauma dan histeris jika melihat pisau. "Karena itu, perlu ada sosialisasi terkait perlindungan anak," kata Widyastuti.
TRI YARI KURNIAWAN