TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan harga bahan bakar minyak yang rencananya diberlakukan bulan depan masih akan membayangi pergerakan rupiah. Maka penurunan dolar Amerika Serikat terhadap mata uang utama dunia tidak mampu mengangkat rupiah.
Di pasar uang, kemarin, rupiah ditutup melemah tipis 4 poin (0,04 persen) menjadi 9.164 per dolar AS. Positifnya aktivitas di bursa domestik setidaknya mampu menahan rupiah tidak melemah lebih dalam.
Indeks dolar AS terhadap mata uang rival utamanya dipasar New York semalam hanya naik tipis 0.071 poin (0,09 persen) ke level 79.896. Euro pagi ini diperdagangan Asia melemah tipis 0,02 persen ke US$ 1,3214, Poundsterling turun 0,03 persen menjadi US$ 1,6868, serta yen juga terdepresiasi 0,01 persen menjadi 83,43 per dolar AS.
Pengamat pasar uang dari PT Harvest International Futures, Tonny Mariano, mengungkapkan kekhawatiran akan ekonomi Cina membuat minat para pelaku pasar memegang rupiah kembali berkurang.
Pada akhir pekan ini, Tonny memprediksi rupiah berpotensi melanjutkan penguatan seiring dengan melemahnya dolar AS terhadap enam mata uang rival utamanya. Bila kondisi di pasar finansial global kondusif dan dolar AS kembali melemah, rupiah bisa melanjutkan penguatan dengan kisaran 9.100-9.200 per dolar AS.
Para analis, yang masih banyak memperkirakan ekonomi Cina akan tumbuh sekitar 8 persen, memperlihatkan masih adanya optimisme pertumbuhan global. Diturunkannya target ekonomi Cina menjadi 7,5 persen sebenarnya justru positif bila kenyataannya nanti malah lebih tinggi daripada perkiraan.
"Dibandingkan dengan ditargetkan lebih tinggi tapi realisasinya justru lebih rendah," ucapnya.
Masih menurut Tony, melambatnya pertumbuhan Cina membuat permintaan akan komoditas juga menurun. Imbasnya, mata uang negara eksportir bahan baku, seperti dolar Australia dan dolar Selandia Baru, melemah. Ini pula yang mungkin membuat rupiah kembali melemah, karena Indonesia termasuk pengekspor komoditas ke Cina.
PDAT | VIVA B KUSNANDAR