TEMPO.CO , Washington: Menurut survei teranyar, lebih dari dua per tiga rakyat Amerika Serikat kecewa soal bagaimana Presiden Barack Obama menangani melonjaknya harga BBM. Tapi kemarahan mereka tidak terfokus kepadanya sebagai penyebab problem.
Kebanyakan orang Amerika yang disurvei Reuters/Ipsos, yang dilansir kemarin, 68 persen, tak setuju penanganan Obama soal harga minyak, termasuk mereka yang 89 persen Republiken, 73 persen independen, dan 52 pendukung Demokrat.
Hanya 24 persen yang setuju bagaimana beleid Obama menanggapi kenaikan harga minyak. Hal itu menjadi salah satu isu terbesar dalam kampanye pemilihan presiden 2012.
Sebulan lalu, harga BBM Amerika melompat sekitar US$ 0,30 per galon menjadi sekitar US$ 3,90. Dan Partai Republik, yang berusaha menggeser Partai Demokrat pada pemilu 6 November, telah menyita isu itu untuk menyerang kebijakan-kebijakan energi Obama.
Penolakan yang meluas berpotensi menyulitkan Obama. "Obama semakin panas soal itu, tapi rakyat tidak selalu menyalahkan dia untuk hal itu," ujar Chris Jackson, Direktur Riset Kebijakan Publik Ipsos, kemarin.
"Warga tidak bahagia bahwa mereka harus membayar US$ 3,90 per galon. Mereka ingin seseorang mampu untuk mengatasi dan presiden adalah orang baik sebagaimana lainnya," kata Jackson. Begitulah, meskipun mayoritas warga tak nyaman dengan penanangan presiden, banyak yang tak menyalahkan Obama atas tingginya harga BBM.
Sebanyak 36 persen responden menyatakan "perusahaan-perusahaan minyak yang terlalu serakah mengambil keuntungan" diakui sebagai biang naiknya harga energi. Poling Reuters/Ipsos digelar pada 26-27 Maret terhadap 606 warga Amerika Serikat dan mempunyai margin error 4,6 persen.
Sementara itu, survei terbaru Gallup mengungkap isu-isu ekonomi terus mendominasi daftar 15 perhatian top warga Amerika. Sebanyak 71 persen warga mengatakan mereka cemas soal "satu perjanjian besar" ekonomi. Adapun 65 persen cemas soal harga BBM.
POLITICO | CNEWS | DWI A