TEMPO.CO, Jakarta - Politikus PDI Perjuangan Rieke Dyah Pitaloka berharap pengambilan keputusan dalam rapat paripurna soal UU APBNP 2012 yang menentukan naik atau tidaknya harga BBM dilakukan melalui voting terbuka.
"Sebetulnya DPR memegang kunci kenaikan BBM bisa terjadi atau tidak karena DPR memiliki hak menentukan besaran subsidi BBM," ujar Rieke di Jakarta, Jumat, 30 Maret 2012. "Ada baiknya pengambilan keputusan dilakukan melalui voting terbuka."
Rieke juga mengapresiasi pernyataan sikap Partai Golkar dan PKS yang telah menyatakan menolak kenaikan harga BBM tersebut sekaligus berharap sikap yang sama ditunjukkan dalam paripurna pada Jumat, 30 Maret 2012.
"Jika fraksi-fraksi serius menolak kenaikan BBM, maka materi paripurna yang harus disepakati itu adalah tidak mencabut Pasal 7 ayat 6 UU 22/2011 yang menyatakan bahwa harga jual BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan," ujarnya.
Selain itu, harus disepakati pula penolakan menambah Pasal 7 ayat 6A yang memuat pernyataan "memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan naik/turun harga BBM apabila ICP naik/turun 5 persen."
Alasan menolak penambahan pasal tersebut adalah apabila kalimat tersebut disahkan DPR, maka pemerintah akan langsung menaikan harga BBM karena saat ini harga pasar yang menjadi acuan pemerintah SBY memperlihatkan harga ICP sudah sekitar 120 dolar AS.
Pada saat yang sama, FPDIP menyetujui penambahan pada Pasal 7 ayat 6 berupa besaran subsidi BBM pada angka Rp 178 triliun karena berimplikasi pada harga jual BBM ke masyarakat yang tetap pada harga Rp 4500/liter atau artinya tidak ada kenaikan harga BBM.
Sementara terhadap usulan subsidi BBM pada angka Rp137 triliun, kata Rieke, harus ditolak karena akan berimplikasi pada harga jual BBM ke masyarakat yang naik sebesar Rp 1500 menjadi Rp 6000/liter. "Opsi ini sama artinya dengan harga BBM naik sehingga harus ditolak," ujarnya.
WDA | ANT