TEMPO.CO , Damaskus -Suriah pada Sabtu 31 Maret, menyebutkan revolusi selama setahun melawan Presiden Bashar al-Assad kini telah berakhir. Tetapi bahwa Damaskus berhak menggunakan kekuatannya untuk "menjaga keamanan" sebelum penarikan pasukan dan kendaraan militer dari kota-kota sesuai dengan sebuah rencana damai yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Juru bicara Kementrian Luar Negeri Suriah, Jihad Makdissi kepada TV Suriah menyatakan bahwa utusan khusus PBB-Liga Arab Kofi Annan telah mengakui hak pemerintah untuk merespon kekerasan bersenjata. Makdisi bilang bahwa penanganan tersebut adalah suatu urusan Suriah.
Dikatakan Makdissi, Suriah akan bekerjasama dengan PBB untuk "menghapus alasan-alasan" untuk tekanan internasional yang lebih jauh.
"Pertempuran untuk menggulingkan pemerintah sudah selesai. Tujuan kami sekarang adalah untuk memastikan stabilitas dan membuat perspektif untuk reformasi dan pembangunan di Suriah sementara mencegah pihak-pihak lain menyabotase jalan reformasi," tutur Makdissi di Damaskus kepada saluran berita pemerintah pada Jum'at, 30 Maret, tengah malam waktu setempat (Sabtu 31 Maret pagi waktu Indonesia).
Dikatakannya, syarat Suriah pada penerimaan proposal Annan termasuk pengakuan kedaulatan pemerintah dan hak untuk urusan keamanan. "Persyaratan lain adalah tidak membahayakan stabilitas Suriah... Bila keamanan dapat terus dipertahankan untuk para warga sipil, tentara akan meninggalkan kota-kota. Ini tidak perlu menunggu Kofi Annan untuk pergi, ini adalah sebuah masalah Suriah."
Sebelumnya, di Jenewa, juru bicara Annan mengatakan proposal sudah jelas bahwa Suriah harus lebih dulu menarik mundur tentaranya dan menghentikan kekerasan. Disebutkan bahwa "tenggatnya telah tiba kini". Dalam proposal Annan disebutkan Suriah harus menghentikan penempatan para pasukan keamanan di dalam kota-kota dan memulai menariknya keluar.
Awal pekan ini menurut catatan lembaga HAM PBB, perang di Suriah sudah menewaskan sedikitnya 9000 orang, Adapun pemerintah Suriah menyebutkan sebanyak 3000 pasukan, baik polisi maupun tentara, terbunuh.
Reuters | Dwi Arjanto