TEMPO.CO, Phnom Penh - Menteri Perdagangan Gita Wirjawan berharap dana infrastruktur ASEAN (AIF) membantu Indonesia membangun infrastruktur. Menurut Gita, dana infrastruktur ASEAN itu jumlahnya mencapai US$ 485 juta.
"Sumbangan kita di sana cukup besar, meski bukan yang terbesar," kata Gita dalam jumpa pers seusai melakukan pertemuan pendahuluan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Gita hadir mewakili Indonesia dalam pertemuan ASEAN Economic Community Council di Phnom Penh, Kamboja, Senin, 2 April 2012.
Pemerintah memang menempatkan dana infrastruktur di AIF sebesar US$ 120 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun. Menurut Gita, dana ini dikelola oleh Asian Development Bank (ADB). "ADB menyetor US$ 150 juta," katanya.
Program ini diperuntukkan bagi pembiayaan infrastruktur di ASEAN. Selama ini, infrastruktur adalah isu penting bagi negara-negara Asia Tenggara. Banyak negara ASEAN yang infrastrukturnya masih ketinggalan, seperti di Indonesia, Laos, atau Vietnam.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo, September lalu, pernah mengatakan diharapkan dana ini bisa digulirkan pada 2012. Menurut Agus, pemerintah berencana membayar dana tunai sebesar US$ 120 juta pada 2012. Dana ini telah tercantum pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012. Angka itu lebih kecil dari yang disetor Malaysia, yakni US$ 150 juta
Gita mengatakan, dalam pertemuan ASEAN Economic Community Council, pemerintah Indonesia berusaha meyakinkan negara-negara lain bahwa dana itu semestinya diberikan tidak cuma berdasarkan syarat umum, seperti proyek harus "bankable". Tapi juga harus ada kriteria pembobotan lain untuk membantu infrastruktur di negara-negara, seperti membangun jembatan Laos dan Indonesia. Dia berharap dana ini bisa dimanfaatkan tanpa harus bertabrakan dengan rencana besar pembangunan infrastruktur di Indonesia
Investasi pada bidang infrastruktur, menurut Gita, adalah salah satu kunci untuk meningkatkan daya saing. Untuk mengatasi defisit perdagangan Indonesia-Cina, misalnya, Indonesia kini sedang menggenjot investasi infrastruktur, selain membangun fondasi yang kuat di bidang manufaktur.
Indonesia saat ini memiliki defisit perdagangan dengan Cina yang sangat besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina tahun 2011 meningkat 50 persen bila dibandingkan dengan 2010. Pada 2010, defisit perdagangan Indonesia-Cina sekitar US$ 2 miliar, kemudian membengkak menjadi US$ 3 miliar pada 2011. Ekspor unggulan Indonesia ke Cina cuma minyak sawit.
Soal perdagangan Cina-ASEAN yang makin mengkhawatirkan, menurut Gita, tak dibahas secara spesifik dalam pertemuan ASEAN Economic Community Council. Beberapa negara ASEAN, katanya, memiliki kesiapan yang berbeda-beda. Ada yang sudah siap, ada yang belum.
Menurut Gita, pemerintah sudah menyiapkan beberapa jurus, yakni dengan rebalancing perdagangan, baik kualitas maupun kuantitas. Untuk kualitas, Indonesia bertumpu pada upaya meningkatkan infrastruktur dan sumber daya manusia yang lebih baik. Untuk soal peningkatan kualitas sumber daya manusia, misalnya, Indonesia mulai melirik industri yang butuh keahlian tinggi, seperti membangun pabrik baja. "Pabrik baja itu ibunya industri," ujar Gita. Bila berhasil, maka akan memberikan dampak yang besar pada industri.
BURHAN SHOLIHIN (PHNOM PENH)