TEMPO.CO, Jakarta- Peneliti Pusat Hukum dan Kebijakan, Fajri Nursyamsi, menyatakan Rancangan Undang-Undangan Pendidikan Tinggi rawan diuji materiil. "Beleid ini rawan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Fajri dalam diskusi publik tentang Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi di Universitas Negeri Jakarta, Senin, 2 April 2012.
Ia menuturkan, dari segi muatan hukum, beleid tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan mengamanatkannya untuk disahkan. JAdi jika ada pihak yang berkeberatan dengan undang-undang tersebut, Mahkamah Konstitusi dapat dengan mudah membatalkannya karena tidak ada dasar hukum pembentukannya.
Dalam paparannya, Undang-Undang Dasar tidak menyebutkan diperlukan sebuah undang-undang pendidikan tinggi. "Konstitusi mengamanatkan satu sistem pendidikan," kata dia. Dengan begitu, menurut dia, sistem pendidikan seharusnya diatur dalam satu undang-undang. Sedangkan pelaksanaan teknisnya baru diatur dalam peraturan pemerintah.
Padahal, kata dia, peraturan pemerintah yang mengatur tentang pendidikan tinggi telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010. Dengan demikian tidak ada kekosongan hukum yang dapat digunakan sebagai alasan pembentukannya.
Selain itu Fajri mengatakan beleid ini juga bukan amanat dari keputusan Mahkamah Konstitusi. Ia menjelaskan tidak ada putusan mahkamah yang menyebutkan perlu dibentuk undang-undang baru yang mengatur tentang pendidikan tinggi.
Baca Juga:
"Dalam putusan MK yang membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan juga tidak disebutkan harus dibuat undang-undang baru," kata dia. Jadi, berdasarkan analisisnya, beleid ini merupakan perwujudan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang telah dicabut tersebut.
Ia mensinyalir adanya kelompok tertentu yang menginginkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan hidup kembali di dalam undang-undang lain. Mereka ia sinyalir memiliki kepentingan agar perguruan tinggi tetap berstatus sebagai badan hukum milik negara.
Sedangkan Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat juga belum mengesahkan satu pun undang-undang semenjak pelantikannya. DPR, kata Fajri, menginginkan beleid tersebut segera disahkan agar dianggap menghasilkan produk hukum.
"Kedua kelompok tersebut bertemu dan memiliki kepentingan yang sama untuk mengesahkannya." katanya. Akibatnya RUU tersebut tetap dirumuskan walaupun dasar hukum pembentukannya tidak ada.
Menurut dia, sekalipun RUU ini disahkan, RUU tersebut ia perkirakan tidak akan mampu menjawab permasalahan pendidikan tinggi. Terutama mengenai otonomi penyelenggaraan universitas karena RUU tersebut ia prediksi akan kembali dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
RAFIKA AULIA