TEMPO.CO, Surakarta - Kesenian tayub sering dianggap vulgar dan dekat dengan erotisme. Tapi bagi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, hal itu bentuk dari ekspresi seni dan tidak tergolong vulgar.
"Kadang-kadang memang mengandung hal-hal yang dianggap vulgar. Tapi itu wajar. Itu menggambarkan wajah masyarakat kita," ujar Wiendu saat menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional seni tayub Nusantara di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sabtu, 7 April 2012.
Dia meminta masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan soal anggapan vulgar tari tayub. Sebab apa yang ditampilkan saat ini masih dalam batas kewajaran. "Mana yang pantas ditampilkan, mana yang tidak, sudah ada ukurannya."
Dia menilai selain sebagai ekspresi seni, kesenian tayub juga punya peran strategis sebagai perekat sosial. Karena itu, kesenian tayub harus terus dilestarikan dengan terus mengembangkan model kesenian tayub.
"Saat ini bisa jadi banyak modifikasi dan pengembangan karena kesenian sangat dinamis dan bukan harga mati," ujarnya. Beragamnya model kesenian tayub, menurut dia, dapat melengkapi kekayaan kebudayaan.
Rektor UNS Surakarta Ravik Karsidi mengatakan ada alasan kuat untuk mengangkat kesenian tayub dalam sebuah seminar. Pasalnya tayub dari waktu ke waktu menemui cukup banyak kendala. "Antara lain anggapan miring dan hujatan, bahkan mengarah pada sikap penolakan," tuturnya.
Hal itu karena tayub merupakan genre seni rakyat yang masih utuh, kasar, dan vulgar sebagai seni tandingan dari berbagai bentuk tarian keraton yang dianggap lebih halus, sopan, dan bernilai tinggi. "Meski demikian, seni tayub membuktikan diri sebagai seni populis dan kesenian rakyat yang sudah mengakar," ucap dia.
Dengan seminar tersebut dia berharap para pemangku kepentingan seperti seniman, pengamat, akademikus, peneliti, dan masyarakat dapat melihat tayub sebagai salah satu kekayaan seni budaya di masyarakat.
UKKY PRIMARTANTYO