TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, mengatakan bahwa manuver Partai Keadilan Sejahtera menunggu keputusan SBY menentukan nasibnya di Sekretariat Gabungan dan kabinet pasti memperhitungkan faktor simpati publik. “Untuk menarik simpati publik, saya kira itu masuk perhitungan juga,” kata Ari saat dihubungi pada 7 April 2012 malam.
Posisi PKS di Setgab goyah pasca-Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menentukan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Sebab sikap yang diambil partai anggota koalisi itu berseberangan dengan kebijakan pemerintah yang hendak menaikkan BBM. PKS menolak kenaikan BBM.
Partai anggota Setgab kemudian bersepakat mengeluarkan PKS dari koalisi. PKS sendiri belum bersikap menanggapi kesepakatan partai-partai koalisi lain.
Ketua Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan semua anggota Setgab menginginkan PKS keluar dari koalisi. Ia mengatakan rekam jejak partai PKS sebagai partai koalisi yang sering berseberangan dengan pemerintah berimbas buruk bagi partainya sendiri. Popularitas partai berwarna hitam itu berpotensi anjlok. “Kalau begini terus, makin anjlok dia,” katanya.
Ari mengatakan kecil kemungkinan PKS akan bersikap tegas mengundurkan diri dari Setgab. Pilihan yang paling baik diambil oleh PKS, menurut Ari, adalah menyerahkan keputusan kepada SBY selaku ketua koalisi. Itu juga sikap yang diambil oleh PKS saat ini.
Ari mengatakan sikap yang diambil PKS sesuai prosedur kontrak Setgab. Jika disetujui Setgab, sebuah partai koalisi bisa diminta mundur oleh koalisi lain. Jika menolak mundur, sebagai pilihan kedua, Setgab bisa menyatakan diri bubar. Pilihan terakhir, kata Ari, adalah menyerahkan masalah koalisi ke Presiden. “Langkah PKS sesuai prosedur,” katanya.
Ari menilai masalah PKS dan koalisi bisa muncul akibat kurangnya intensitas komunikasi politik di dalam Setgab. “Dalam hal BBM, tidak ada kesepakatan Setgab,” katanya. Karena komunikasi yang kurang, batas antara tindakan melanggar dan tidak melanggar menjadi kabur. “Bagi partai lain melanggar, tapi bagi PKS mungkin masih bisa diterima."
ANANDA BADUDU