TEMPO.CO, Jember - Kepala Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, Ajun Komisaris Besar Polisi Jayadi, mengatakan hingga kini pihaknya masih terus menyelidiki kasus penyerangan terhadap Pondok Pesantren Terbuka Ma'had Al Robbaniy di Dusun Krajan, Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Sumbersari. “Olah tempat kejadian perkara sudah kami lakukan. Sudah enam orang saksi yang sudah kami mintai keterangan,” kata Jayadi, Minggu, 22 April 2012.
Para saksi tersebut di antaranya Elvi Yulita, pendiri dan pengajar pesantren, serta Ustad Heri Yudi Siswoyo dan istrinya, Maemunah. Tiga saksi lainnya adalah santri pesantren tersebut. Pemeriksaan saksi akan terus dilakukan.
Penyerangan dan perusakan terjadi Jumat malam, 20 April 2012. Ratusan warga beramai-ramai menyerbu pesantren tersebut karena dinilai mengajarkan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. "Masyarakat sini yang sudah menerima dengan senang hati. Sekarang mereka malah menganggap warga di sini kafir," kata seorang warga, Ahmad Mulyono.
Warga menyerang menggunakan batu dan kayu. Akibatnya,
kaca dan genteng pesantren hancur. Tak berapa lama, aparat Polres Jember berhasil menenangkan warga. Sekitar 50 penghuni pesantren juga berhasil diselamatkan.
Mulyono dan sejumlah warga mengungkapkan bahwa, dalam beberapa bulan terakhir, penghuni pesantren yang berdiri sejak tahun 2007 itu mulai gencar menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan keyakinan dan tradisi keagamaan masyarakat sekitar. Mereka mengharamkan tahlil dan ziarah kubur. "Yang parah, mereka berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak perlu dimuliakan karena hanya manusia biasa saja," ujar Mulyono.
Amarah warga terjadi secara spontan. Sebab, pada petang harinya, perwakilan pesantren dan warga telah dipertemukan di kantor Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas) Jember. Dalam pertemuan yang dimediasi pihak Kementerian Agama Jember dan kepolisian itu disepakati pesantren akan menghentikan kegiatannya selama dua minggu sambil menunggu kajian dari Kementerian Agama Jember.
Namun rupanya warga tidak puas dengan kesepakatan tersebut. Sekitar satu jam setelah pertemuan berakhir, ratusan warga beramai-ramai menyerbu pesantren tersebut.
Pengajar dan pengurus Pesantren Robbany, Heri Yudi Siswoyo, membantah tuduhan warga. Menurut Heri, pesantrennya mengajarkan dan menjalankan ajaran agama Islam yang benar. "Kami menjalankan syariat Islam sesuai ajaran Al-Quran dan Al-Hadis, tidak seperti yang dituduhkan warga," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Kementerian Agama Jember, Raifi, mengatakan, dalam pertemuan Jumat petang, pengurus pesantren menolak semua tuduhan warga. "Tetapi kami masih akan meneliti dan mengkaji masalah ini bersama MUI. Kami harap masyarakat tenang dan tidak main hakim sendiri," ujarnya.
Adapun Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember Halim Subahar menyesalkan aksi penyerangan itu. Menurut Halim, sebenarnya kedua belah pihak sudah bersedia islah. Namun warga meminta beberapa syarat, yakni pesantren tersebut dibubarkan terlebih dahulu dan pengelola pesantren tidak boleh lagi berkunjung ke pesantrennya. "Persyaratan yang diajukan warga cukup berat bagi pengelola pesantren sehingga MUI mencoba untuk mencari jalan tengah dalam melakukan mediasi di antara kedua belah pihak," tuturnya.
Berdasarkan kajian sementara yang dilakukan MUI, materi pengajian yang disampaikan oleh pengurus pesantren tidak menyalahi aturan dan sudah sesuai ajaran agama Islam. Namun penyampaian ajaran terkadang menyinggung kebiasaan yang dilakukan warga sekitar. "Soal khilafiyah, seperti tahlil dan ziarah kubur, kalau disampaikan di internal jemaah pesantren tidak menjadi masalah, tetapi ketidaksetujuan mereka disampaikan secara terbuka sehingga menimbulkan keresahan masyarakat," katanya.
MUI Jember menyatakan Pesantren Terbuka Robbaniy bukanlah pondok pesantren karena belum memenuhi beberapa persyaratan. Menurut Subahar, setidaknya ada lima syarat yang harus dipenuhi sebuah lembaga untuk bisa disebut pondok pesantren, yakni memiliki kiai atau ulama yang menetap di lingkungan pesantren tersebut, memiliki santri yang menetap di dalam lingkungan pesantren, memiliki musala atau masjid, melakukan kajian kitab Islam klasik, dan memiliki pondok atau asrama tempat para santri tinggal. "Yang datang ke sana untuk melakukan kajian Islam hampir semua dari luar, tidak menetap. Dan tidak ada asrama untuk santri seperti umumnya pesantren," katanya.
MAHBUB DJUNAIDY