TEMPO.CO, Jakarta - Meningkatnya kekhawatiran terhadap pertumbuhan global membuat rupiah masih terpuruk di atas level 9.200 per dolar Amerika Serikat (AS).
Menjelang keluarnya data tenaga kerja dan angka pengangguran AS yang diperkirakan mengecewakan membuat pelaku pasar melepas portofolio asetnya dalam mata uang yang dianggap berisiko tinggi di pasar berkembang, seperti rupiah dan mata uang regional lainnya. Imbasnya, bursa dan mata uang Asia kembali terdepreasi terhadap dolar AS.
Bank Indonesia (BI) yang selalu konsisten di pasar untuk menjaga mata uangnya agar tidak berfluktuasi terlalu tajam mampu meredam pelemahan rupiah lebih dalam. “Patut diduga ada campur tangan dari bank sentral sehingga rupiah berhasil menguat di tengah kuatnya tekanan,” kata Yohanes Ginting, pengamat pasar dari PT Monex Investindo Futures.
Nilai tukar rupiah di pasar uang hari ini berhasil menguat 17 poin (0,18 persen) ke level 9.214 per dolar AS. Pergerakan rupiah cukup lebar antara 9.190–9.250 per dolar AS. Namun, sepanjang pekan ini, rupiah melemah 25 poin (0,27 persen) dari posisi minggu sebelumnya di 9,77 per dolar AS.
Ekonomi yang mulai mengalami kontraksi, melambatnya aktivitas manufaktur kawasan Eropa, serta sinyal perlambatan ekonomi AS membuat para pelaku pasar kembali memburu mata uang yang dianggap aman, yakni dolar AS dan yen Jepang.
“Akan dirilisnya data penambahan tenaga kerja non-pertanian dan pengangguran membuat pelaku pasar lebih memilih bersikap wait and see, dan menunggu hasilnya sebelum menentukan ke mana arah investasinya,” kata dia.
Indeks dolar AS terhadap mata uang utama dunia hingga sore ini pukul 17.58 WIB kembali menguat 0,08 poin ke level 79,291. Won Korea Selatan melemah 0,21 persen, peso Filipina turun 0,39 persen, ringgit Malaysia susut 0,25 persen, serta baht Thailand juga melemah 0,03 persen terhadap dolar AS.
VIVA B. KUSNANDAR