TEMPO.CO, Semarang – Para mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa Kronik Filmedia tetap menggelar diskusi dan pemutaran film Sanubari Jakarta. Karena tak diizinkan pihak Rektorat, para mahasiswa akhirnya memilih melakukan kegiatannya di Cafe 70 Jalan Jatimulyo Semarang.
"Kami tetap melaksanakan acaranya. Karena tak boleh di lingkungan kampus Undip, ya kami memindahkan lokasi acara di kampus," kata aktivis Kronik Filmedia, Seksi Kurniawati, kepada Tempo, Kamis 10 Mei 2012.
Kronik Filmedia akan memutar film Sanubari Jakarta dalam dua sesi: pukul 13.00 dan 15.30 WIB. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama sutradara dan pemain film. Seksi menyatakan yang akan datang dalam acara ini sekitar 100 orang.
Rektorat Universitas Diponegoro Semarang tak memberikan izin atas acara pemutaran film yang berisi kisah lesbian, gay, bisekseual, and transgender (LGBT) itu.
Sanubari Jakarta berisi kumpulan 10 film pendek yang terinspirasi dari kisah-kisah realita kehidupan cinta sesama jenis di Jakarta. Film indie yang mengangkat 10 kisah tentang komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender itu berdurasi cerita masing-masing 10 menit.
Rektorat Undip tak memberikan izin kegiatan karena film tersebut mengandung unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan). Rektorat juga mengklaim mendapatkan berbagai keluhan dari berbagai pihak atas adanya rencana pemutaran film itu.
Pembantu Rektor III Undip, Warsito, menyatakan pihaknya menolak memberikan izin acara pemutaran Sanubari Jakarta karena risiko resistensi sangat banyak. “Banyak yang menolak,” kata Warsito.
Warsito mempersilakan mahasiswa memutar film itu di luar lingkungan Undip terlebih dahulu. Mahasiswa harus membuat dokumentasi untuk nantinya diperlihatkan ke Warsito. “Saya nanti lihat. Kalau bagus, ya silahkan diputar lagi di Undip. Kalau tidak, ya tidak,” katanya.
ROFIUDDIN