TEMPO.CO, Jakarta - Freddy, 30 tahun, tidak tahan menonton video di situs YouTube itu. Durasinya hanya 4 menit 19 detik, namun isinya sangat kejam. Seorang ibu tidak henti-hentinya memukul dan memaki anaknya yang masih bayi.
Baru lima detik Freddy melihat video tersebut, ia sudah memalingkan muka. "Enggak tega gue melihatnya," kata lajang yang bekerja sebagai karyawan swasta itu. Ia merasa semakin miris karena melihat si bayi yang berada di tempat tidur hanya bisa mengangkat kepala dari posisi tengkurap meskipun dipukul berkali-kali. "Sakit jiwa ibunya," ujar Freddy.
Perilaku agresif seperti ini, menurut anggota staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adriana Ginanjar, bisa terjadi karena si ibu memiliki masalah pengelolaan amarah. "Ia sangat temperamental atau ketika kecil mengalami hal serupa," kata Adriana yang mengaku tidak berani menonton video berjudul "Ibu Menyiksa Anaknya" itu.
Bisa juga kemarahan terpicu karena kondisi psikologis ibu ketika mengandung bayinya. Misalnya, suaminya tidak ada atau tidak bertanggung jawab terhadap anak. "Kejadian seperti ini bisa membuat ibu sangat benci terhadap anaknya," ujarnya.
Masalah yang tidak bisa dihadapi ibu juga bisa memicu perilaku agresif. Misalnya, kemarahan kepada bos malah ditimpakan kepada anaknya; tidak suka dengan perlakuan orang tua, tapi yang menjadi sasaran amuk malah si bayi. "Semua hal itu bisa menjadi pemicu," kata Adriana.
Ibu dengan kondisi psikologis seperti itu perlu memiliki kelompok pendukung. Anggota kelompoknya bisa terdiri atas keluarga, teman, atau pengasuh bayi. Jadi, ketika rasa marah atau gelisah muncul, ia bisa meminta anggota kelompoknya untuk bergantian mengasuh anak. Sementara itu, si ibu menyelesaikan masalah dengan berkonsultasi atau curhat dengan teman dekat atau orang yang bisa dipercaya.
Namun, kalau masalahnya lebih dalam, seperti si ibu tidak bisa mengontrol kemarahan, ia harus mendapatkan pertolongan profesional. "Depresi atau kecemasan bisa teratasi dengan obat-obatan, meditasi, atau konseling," ujar Adriana.
Seorang bayi, ujar Adriana, memang belum mampu mengingat kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya. Namun kekerasan fisik bisa mempengaruhi hidupnya ketika dewasa. "Ia bisa jadi takut mendengar suara tinggi atau trauma melihat bantal," katanya. Kecemasan tersebut bisa hilang kalau si anak memilih melupakannya. "Ia bisa benar-benar lupa, tapi masalah psikologisnya belum tentu hilang."
SORTA TOBING