TEMPO.CO, Jakarta - PT Aneka Tambang (Persero) Tbk terus memperjuangkan area konsesi pertambangan nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Direktur Utama PT Antam, Alwin Syah Lubis, mengatakan upaya itu untuk memenuhi komitmennya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Sejak awal kami ingin buat pabrik di situ yang masuk dalam program MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunana Ekonomi Indonesia). Ini bentuk tanggung jawab saya kepada Menteri dan Presiden kenapa proyek tidak jalan," kata Alwin dalam seminar tentang pertambangan nikel di Konawe bertempat di gedung DPD, Jakarta, Selasa, 22 Mei 2012.
Baca Juga:
Pembangunan yang dimaksud adalah rencana mendirikan pabrik nikel pig iron di Konawe Utara. Target kapasitas produksinya mencapai 120 ribu ton saban tahun. Pabrik juga sudah diperhitungkan bisa beroperasi selama 50 tahun. "Kami berencana memperluas hingga pembangunan pabrik stainless steel karena di Indonesia belum ada pabriknya," kata dia.
Sayangnya, rencana tersebut masih terganjal kasus perebutan lahan pertambangan nikel antara PT Antam dan perusahaan swasta PT Duta Inti Perkasa Mineral (DIPM) yang melibatkan Bupati Konawe Utara. PT Antam 2 kali kalah dalam persidangan untuk memperjuangkan lahan tambangnya.
Keputusan terakhir dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung No. 129/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 8 November 2011, sehingga Bupati Konawe Utara memberi izin kepada PT Duta Inti untuk menambang di lokasi yang berada di tengah-tengah wilayah pertambangan Antam. "Sejak awal kami sudah punya kuasa pertambangan untuk eksplorasi dan eksploitasi. Tapi dalam perjalanannya Pemda membagi-bagi izin lahannya," tutur Alwin.
Dia menuturkan PT Antam sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha (PTUN) atas pemberian izin Bupati kepada PT DIPM. PT Antam menganggap izinnya tumpang tindih dengan lahan miliknya. Inilah yang kemudian dikalahkan oleh putusan Mahkamah Agung.
Namun Alwin menyayangkan opini yang berkembang di Konawe Utara akibat kekalahan ini. Akibat kekalahan itu PT Antam dianggap tidak lagi berhak beroperasi di kawasan konsesi milik perusahaan. "Ini kan aneh. Kami mengajukan gugatan PTUN untuk masalah administrasi. Kenapa bupati keluarkan SK izin terhadap perusahaan swasta lain, sehingga seolah-olah kami tidak lagi punya hak beroperasi," ucap dia lagi.
Dia menolak anggapan bahwa PT Antam telah menelantarkan lahan tambang di Konawe Utara, sehingga berakibat izin diberikan kepada pihak lain. "Proses hukum tetap kami lakukan. Termasuk melaporkan masalah ini kepada Komisi VI, Komisi VII DPR, serta kementerian terkait," ujarnya.
Sementara itu anggota Komisi VI DPR, Chandra Tirta Wijaya, meminta Kementerian BUMN dan pemerintah pusat memperjuangkan lahan milik PT Antam di Konawe Utara. Sebab, secara legalitas hukum, Antam telah memiliki kuasa pertambangan sejak 1999 untuk eksplorasi, eksploitasi, hingga produksi.
"Padahal yang digugat hanya lahan Antam seluas 1.213 hektare. Tapi dampaknya seolah-olah Antam tidak diperbolehkan lagi beroperasi di seluruh area yang dimiliki," kata dia.
Dia juga meminta dukungan Kementerian ESDM dan BUMN agar lahan milik Antam itu tidak dikuasai perusahaan swasta. Sebab, PT Antam sebagai perusahaan negara memiliki niat dan upaya baik untuk membangun smelter nikel. Sedangkan perusahaan swasta lebih banyak hanya ingin mengeruk hasil bumi dan tidak mau membangun smelter.
"Perusahaan swasta ini hanya bisa berencana dan berjanji mau bangun smelter. Harusnya dalam kasus ini pemerintah pusat bisa memberikan sanksi kepada Pemda seperti menghentikan dana alokasi khusus atau dana alokasi umum sampai kasus selesai," ujarnya.
PT Duta Inti Perkasa Mineral adalah anak perusahaan Grup Harita yang dimiliki keluarga Lim Hariyanto. Mereka adalah pengusaha tambang dan perkebunan di Indonesia yang memiliki konsesi hingga ratusan ribu hektare.
ROSALINA