TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia menyarankan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik mulai mengurangi ketergantungan pada ekspor dan lebih mengandalkan permintaan domestik untuk mempertahankan laju pertumbuhan. Jika perekonomian Cina melambat lebih cepat, harga komoditas bakal jatuh dan membahayakan eksportir di kawasan.
"Ini menjadikan negara-negara yang banyak mengekspor komoditas rentan," ujar ekonom utama Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik, Bert Hofman, dalam diskusi terkait dengan laporan Bank Dunia "East Asia & Economic Update", Rabu, 23 Mei 2012.
Bank Dunia memprediksi Cina mempengaruhi 10 sampai 30 persen harga komoditas. Selain Cina, Amerika Serikat juga menjadi salah satu negara berpengaruh dalam menentukan harga komoditas dunia, selain tentunya sejumlah negara Eropa dan Jepang.
Menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor Indonesia tercatat mencapai US$ 203,5 miliar pada 2011. Ekspor meningkat seiring dengan pemulihan global. Pada krisis 2008-2009 ekspor Indonesia tercatat turun 14,96 persen dari US$ 137,02 miliar menjadi US$ 116,51 miliar. Pada triwulan pertama 2012, ekspor Indonesia mencapai US$ 48,53 miliar atau tumbuh 6,93 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Meski masih bertumbuh, neraca pembayaran Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekspor bergerak lebih lambat dibanding impor. Hal ini membuat transaksi berjalan mengalami defisit dua triwulan belakangan. Pada triwulan IV 2011 defisit mencapai US$ 1,58 miliar dan US$ 2,9 miliar pada triwulan 1 2012.
Ekonom Bank Dunia, Sjamsu Rahardja, mengungkapkan meski penurunan ekspor Indonesia belum bisa dipastikan ia yakin penurunan tak akan sebesar pada masa 2008 lantaran permintaan akan tetap ada. "Akan ada penyesuaian terhadap kondisi eksternal, yakni penurunan permintaan. Dampaknya, penerimaan nominal ekspor akan mengalami tekanan, tapi seberapa jauh harus dilihat lagi," ucapnya.
Diversifikasi negara tujuan ekspor dinilai Sjamsu penting. Meski, ia mengingatkan, perlu juga menjaga kinerja ekspor ke negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. "Jika mereka lepas, susah mendapatkan mereka lagi," ucapnya.
Terkait dengan defisit anggaran akibat ekspor yang bertumbuh tak secepat impor, Sjamsu menilai hal tersebut masih positif. "Masih dalam batas aman, tidak terlalu cemas. Dibandingkan sebelum krisis Asia 2008, neraca pembayaran masih sehat. Investasi naik, impor barang modal, mesin juga masih ada, ini cermin optimisme, kuatnya ekonomi," ucapnya.
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan Indonesia di 2012 mencapai 6,1 persen, melemah dibanding pertumbuhan di 2011 yang mencapai 6,5 persen. Pertumbuhan diprediksi kembali membaik di 2013 dengan 6,4 persen.
Ekonom Bank Dunia lainnya, Ashley Taylor, mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan tergantung pada perbaikan yang dilakukan di dalam negeri, misalnya pembangunan infrastruktur dan relokasi ekspor dan kondisi ekonomi global. "Ada banyak skenario yang bisa terjadi," ucapnya. Ia pun mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan kebijakan moneter antara pro pertumbuhan dan inflasi.
Rasio utang terhadap PDB Indonesia dinilai Ashley masih baik. "Jika dilihat di kurva, rasionya terus menurun," ucapnya. Baiknya kondisi ekonomi Indonesia dinilainya tecermin dari perolehan peringkat layak investasi dari beberapa lembaga pemeringkat rating dunia.
Secara umum, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik bakal kembali melemah di tahun ini. Jika pertumbuhan tercatat 8,2 persen pada 2011, pada 2012 pertumbuhan diprediksi menjadi 7,6 persen.
Perlambatan ekspansi di Cina diperhitungkan sebagai salah satu penyebab perlambatan ekonomi kawasan di tahun ini. Meski begitu, kinerja kawasan di skala global tergolong tinggi. Pada 2011 pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik berkisar 2 persen di atas negara-negara berkembang di kawasan-kawasan lain.
MARTHA THERTINA