TEMPO.CO, NTT - Remaja asal Papela, Rote Ndao, Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu kepincut tawaran Rp 20 juta dari agen penyelundup manusia di desanya. Bersama tiga nelayan satu kampung--nahkoda mendapatkan Rp 30 juta dan dua anak buah kapal masing-masing Rp 15 juta--Dito Soru bersedia menyeberangkan para imigran di Kendari, Sulawesi Tenggara, ke Pulau Pasir (Ashmore Reef), Australia.
Dengan menggunakan pesawat, empat orang itu terbang dari Kupang ke Makassar pertengahan Maret 2011, dilanjutkan penerbangan kedua ke Kendari. Sebuah kapal kayu berkapasitas 80 ton telah siap di sebuah dermaga rakyat. Bekal selama perjalanan pun telah tersedia. Setelah memastikan kondisi kapal seharga Rp 70 juta itu, Dito dan temannya tinggal di sebuah hotel bersama sekitar 70 imigran asal Afganistan, Pakistan, dan Iran.
Pada malam ketiga, sekitar pukul dua dinihari, kapal mereka angkat jangkar meluncur ke perairan Nusa Tenggara Timur lewat jalur Solor, Flores Timur. Mereka terus berlayar melewati perairan Mayoe di Pulau Semau, Kupang. Ketika matahari mulai tergelincir, perahu penangkap ikan itu masuk perairan Papela. Jarak ke Pulau Pasir masih 105 mil lagi. “Kami tempuh selama lima hari,” kata Dito, awal bulan lalu.
Selama perjalanan, para imigran itu ditempatkan di dek. Mereka boleh keluar ketika hari sudah gelap. Jika pada siang menemui pulau, sang nakhoda menghindar ke laut lepas dan mematikan mesin, bersabar hingga malam untuk meneruskan pelayaran.
Ketika memasuki perairan Australia sekitar pukul sebelas, 10 mil sebelum masuk Pulau Pasir, satu pesawat intai Australia mendeteksi kedatangan mereka. Benar, satu jam kemudian sebuah kapal perang negeri kanguru itu menghampiri perahu tanpa bendera kebangsaan ini. Tidak ada perlawanan, semua penumpang ditangkap, dipindahkan ke kapal perang dan dibawa ke Darwin, Australia.
Di Darwin, Dito ditahan di kantor imigrasi setempat. Lantaran pemuda 18 tahun itu dianggap di bawah umur, ia dipindahkan ke Hotel Berima House, Darwin. Karena itu pula ia tidak dipekerjakan sebagaimana tahanan dewasa. Selain makan, untuk keperluan sehari-hari ia mendapat US$ 30 setiap minggunya. Selama tiga bulan menjadi tahanan rumah, Dito bertemu puluhan nelayan Rote yang senasib. Setelah itu, dia dikembalikan ke Indonesia. "Saya sudah kapok. Tak mau lagi bawa imigran gelap ke sana."
Nelayan Papelo, Rote Ndao, memang terkenal sebagai pelaut tangguh. Tanpa petunjuk arah seperti global positioning system, mereka bisa menyeberang ke Pulau Pasir atau Pulau Christmas yang beratus-ratus mil lebih jauh lagi. Karena itulah mereka kerap mendapat tawaran dari para penyelundup.
Awal bulan lalu, Tempo mendatangi kampung nelayan yang terletak 80 kilometer timur laut dari Kota Ba'a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao itu. Rupanya, bagi hampir seluruh warga desa yang berprofesi nelayan, mengantar imigran sudah jadi kerja sampingan yang mendatangkan banyak uang. Bahakan, seorang agen lokal besar, bermarkas di Papelo.
Yanuar, sebut saja demikian. Dialah aktor yang mengatur para nelayan Rote menyeberangkan imigran ke Australia. Telepon menjadi alat komunikasi utama dengan para smuggler lokal atau asing. Lelaki paruh baya ini menerima order dari jaringannya di Jakarta, Surabaya, atau Medan. “Terminal kami berada di sana,” kata Yanuar. “Kalau kami yang main pasti sampai Australia.”
Jika harga disepakati, ia mengirim nelayan yang telah direkrut ke titik pemberangkatan terakhir, seperti Jakarta dan Cisarua. Sementara, para imigran pun memiliki referensi, jika ingin lolos ke Australia, harus diantar oleh nelayan Rote Ndao. “Harus ber-KTP Rote,” katanya.
Ikuti laporan lengkap wajah sindikat penyelundup manusia di Majalah Tempo pekan ini.
TIM INVESTIGASI
Berita terkait
Menelusuri Sindikat Manusia Perahu
Jalur Tikus Manusia Perahu Sampai ke Indonesia
Nelayan Pengirim Manusia Perahu Dibayar Rp 10 juta
Pedagang Karpet Penyelundup Manusia Perahu