TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok Papermoon Puppet Theatre asal Yogyakarta akan menggelar pertunjukan keliling di Amerika Serikat pada September hingga Oktober 2012. Kelompok yang memadukan boneka dan aktor manusia di satu panggung itu akan menampilkan lakon "Mwathirika", bahasa suku Swahili di Afrika Timur, yang artinya "korban".
Pertunjukan ini pernah mereka pentaskan beberapa kali. Terakhir mereka mementaskannya selama tiga kali pada 15-16 Juni 2012 di ruang auditorium Institut Francais Indonesia (IFI), Bandung. Ruang berkapasitas 300 orang itu penuh. Tiket seharga Rp 30 ribu per orang juga selalu ludes di setiap pertunjukan.
"Mwathirika" berangkat dari tragedi 30 September 1965. Kisahnya pun, seperti tertulis di layar, dipersembahkan bagi para korban peristiwa kelam itu. Sutradara Maria Tri Sulistyani tak hanya berkutat pada persoalan Partai Komunis Indonesia, tapi meluaskannya pada kisah penghilangan dan pelenyapan manusia oleh rezim penguasa.
Tokoh utamanya Tupu, bocah perempuan yang tak sanggup lagi meniup peluit merahnya dengan nyaring sejak ayahnya, Baba, dibawa tentara dan tak pernah kembali. Kakaknya, Moyo, yang berusaha mencari sang ayah, juga ikut lenyap diseret tentara bertopi hijau berbentuk gunung dan bertopeng burung pemakan bangkai.
Tupu bertanya ke orang-orang, tapi tak mendapat jawaban. Akhirnya ia sadar bahwa kini ia harus hidup sendiri. Peluit merahnya berbunyi lirih memanggil Baba dan Moyo. Suara peluitnya makin pilu lalu senyap. Tubuhnya bergetar didekap kesunyian.
Seluruh kisah itu mengalir tanpa kata selama hampir 60 menit. Pemain hanya bersuara ketika memanggil nama-nama tokoh atau menguatkan suasana hati yang gembira atau kecewa. Narasi selanjutnya dibangun lewat gerak tubuh boneka yang dimainkan satu-dua pemain. Selain boneka, pemain orang berwujud tentara, badut, dan hakim pengadilan militer juga muncul. Mereka ikut menguatkan dan membingkai alur serta suasana bersama musik, deretan teks, dan video di layar latar.
Maria dan suaminya, Iwan Effendi, sebagai Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre, membuat pertunjukan itu untuk mengingatkan soal sejarah kehilangan, tapi, "Kami tidak bicara tentang siapa yang membunuh siapa," tulis mereka dalam booklet pementasan.
ANWAR SISWADI