TEMPO.CO, Ujung Kulon-Badak Jawa adalah hewan yang tak menggantungkan hidupnya dari keberadaan manusia. Hewan bercula satu itu juga dalam kehidupannya tidak menganggu aktivitas manusia dan juga tak ingin diganggu dengan makhluk di luar spesies mereka. Tapi urusan Badak kini justru jadi sengketa antar manusia. Itulah yang terjadi di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten.
Kejadian sudah setahun lalu antara warga kampung Legonpakis, desa Ujungjaya, Kecamatan Sumur dengan pengelola Taman Nasional. "Kami berusaha mengeluarkan perambah dari kawasan," ujar Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Mohammad Haryono yang ditemui Ahad, 17 Juni 2012.
Pada April 2011, Taman Nasional berusaha membuat pagar selebar 10-20 meter dengan panjang 21 kilometer di dalam kawasan. Pagar itu akan menjadi pusat konsentrasi Badak Jawa. Proyek pemagaran yang sudah dimulai dengan membuldoser kawasan sepanjang 6 kilometer pada Mei 2011, memakan lahan pertanian warga. Ujungnya adalah protes yang berlarut hingga sekarang. Proyek pemagaran hanya berjalan sebulan.
Tanah warga kampung Legonpakis dinilai Balai sebagai perambahan sehingga berhak diusir. Semenjak alih status kawasan Gunung Honje dari kawasan Hutan Tanaman Produksi menjadi Tanaman Nasional (1979), sejumlah lahan masih dikuasai warga. Menurut Haryono, jika status wilayah sudah Taman Nasional, tak boleh ada warga dalam kawasan.
Balai perlu membersihkan sejumlah kawasan di Gunung Honje utara demi proyek Java Rhino Study and Conservation Area, rencana pengkonsentrasian badak di areal 21 hektar. Saat ini jumlah badak Jawa di Semenanjung Ujung Kulon ada 35 ekor. Mamalia pemakan tumbuhan itu tersebar di kawasan seluas 122.956 hektar.
Dengan area seluas itu, Haryono mengakui, bahwa agak sulit terjadi pertemuan antara pejantan dan betina. "Harapannya badak dikonsentrasikan dalam wilayah sempit sehingga perjumpaan jantan dan betina semakin tinggi," ujar dia. Artinya peluang perkawinan dan kelahiran besar.
Kawasan konsentrasi juga dikembangkan jadi kawasan ekowisata. Sebab keberadaan tempat yang bisa melihat badak Jawa tentu akan digemari. Proyek serupa juga berjalan untuk penyelamatan Badak Sumatera di Bukit Barisan. "Akan muncul alternatif ekonomi bagi masyarakat," Haryono menambahkan.
Kawasan Gunung Honje terbukti cocok untuk tempat hidup Badak yang tersebar di Semenanjung Ujung Kulon. "Kami temukan dua badak sudah mau masuk, berarti ekosistemnya cocok," ujar dia. Balai kemudian mematangkan rencana pemagaran yang dilegalkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan
Rupaya niatan itu belum dipahami kedua belah pihak. Sehingga ketika upaya pembersihan, sekitar 31 warga kehilangan lahan garapan. Jahadi, 34 tahun, kehilangan lahan seluas 0,5 hektar. Kini ayah dua anak yang hanya jebolan kelas dua SD itu, terpaksa maro atau menggarap sawah dengan sistem bagi hasil di desa tetangga. Pendapatannya turun dari 15 karung beras sekali panen menjadi 10 karung saja dari hasil maro.
Jahadi bersama sepuluh orang lainnya sempat mendapat uang kadeudeuh sebesar Rp 1,5 juta. Adapun 20 orang lain tak dapat ganti rugi sepeser pun. Seperti yang dialami Sanaji, 32 tahun. Meski tak dapat ganti rugi, Sanaji tak berani mengadu. Ia terngiang penembakan warga oleh petugas pengawas Badak 2006 lalu sehingga ketika lahan diambil, mereka pasrah.
Kini warga yang dituding perambah tersebut dibantu sebuah tim sepuluh dan kelompok mahasiswa Banten. Mereka mempertanyakan kebijakan Taman Nasional yang melantakkan pepohonan di dalam kawasan demi pagar badak. Rencananya pada 29 Juni 2012, mahasiswa akan memaparkan kajian versi mereka di depan Direktur Jenderal Kehutanan. Kajian termasuk dari aspek sosial, ekologi dan ekonomi pembangunan pagar Badak.
Dedi Supriyadi, salah satu anggot tim sepuluh, menuturkan lahan yang dikerjakan masyarakat adalah zona tradisional. "Sudah dikelola sebelum penetapan Taman Nasional," ia menjelaskan di tempat terpisah. Tapi karena proyek tersebut, hilang sudah nafkah utama mereka.
DIANING SARI