TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah meminta badan usaha milik negara yang bergerak di bidang farmasi memproduksi bahan baku obat. Dengan begitu, ongkos produksi diharapkan bisa ditekan dan harga jual obat dalam negeri tidak lagi mahal. "Sebanyak 96 persen bahan baku obat masih dari impor," kata Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, kemarin.
Dia mengatakan, selama ini bahan baku farmasi diimpor dari India dan Cina. Rencana merangkul Kementerian BUMN untuk mendorong perusahaan-perusahaan milik pemerintah menjadi pelopor produsen bahan baku obat. Saat ini badan usaha yang bergerak dalam bidang farmasi adalah Indo Farma, Kimia Farma, dan Biofarma.
Padahal perusahaan-perusahaan itu, kata Maura, sudah menyatakan keinginannya sejak dulu. Bahkan, rencana tersebut sudah pernah diungkapkan kepada Menteri Kesehatan saat itu, Endang Rahayu Sedyaningsih. “Tapi, karena Ibu sakit kemudian wafat, jadi tertunda.”
Untuk menghidupkan industri hulu ini, Kementerian Kesehatan bersama instansi lain membentuk kelompok kerja nasional. "Harus di-push, karena produk jadi sudah banyak," kata Maura.
Selain obat farmasi, pemerintah mendorong produksi obat herbal. Selama ini konsumsi obat herbal mencapai 55,3 persen. “Obat ini juga sudah masuk ke dalam sistem kesehatan formal di Kementerian Kesehatan.” Selain itu, obat herbal sangat diminati di pasar internasional.
Sampai saat ini produksi obat herbal masih berskala usaha kecil-menengah. "Jika industri farmasi diawasi, industri herbal justru harus dibina," kata Maura. Dia juga meminta Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan ikut berperan dalam membina usaha-usaha ini.
Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk Rusdi Rosman menyatakan pendirian pabrik bahan baku obat sangat sulit di Indonesia dan sering berujung pada kerugian. "Biaya produksi lebih mahal daripada impor," ujarnya kemarin.
Dia menjelaskan, sebelum membangun pabrik bahan baku farmasi, dibutuhkan bahan dasar dari industri petrokimia. Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai pabrik petrokimia dan masih mengimpor dari negara lain.
Pada 2003, Kimia Farma pernah mendirikan anak perusahaan bernama PT Riasima Abadi Farma sebagai produsen bahan baku obat parasetamol. Namun perusahaan ini dijual dua tahun kemudian karena terus merugi.
Selain itu, Riasima sulit bersaing dengan perusahaan di Asia lainnya karena menggunakan bahan baku impor. “Jadi, daripada impor dua kali untuk bahan pokok pembuatan bahan baku dan bahan baku itu sendiri, lebih baik semuanya impor.”
Adapun Direktur Utama PT Mustika Ratu Tbk Putri Kuswisnu Wardani mengatakan, keanekaragaman tumbuhan Indonesia menjadi keunggulan tersendiri yang dimiliki industri herbal ketimbang di negara tetangga. Khusus untuk industri kosmetik, menurut dia, tetap dibutuhkan bahan baku mentah yang alami, seperti jamu dan bahan kimia.
SUNDARI | RR ARIYANI