TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat perminyakan, Kurtubi, mengatakan rencana pemerintah mengimpor Premium guna memenuhi kebutuhan puasa dan Lebaran dinilai mendadak akibat dari perencanaan yang buruk.
"Impor yang sifatnya mendadak ini adalah akibat dari perencanaan yang buruk terhadap prediksi kuota Premium," ujarnya kepada Tempo, Minggu, 22 Juli 2012.
Menurut dia, pemerintah tidak konsisten dalam mengantisipasi tingginya permintaan bahan bakar. Selama ini pemerintah hanya mengandalkan data kebutuhan yang nilainya mencapai 50 juta kiloliter.
"Kalau hanya mengandalkan data jumlah kuota, pemerintah malah menjebak diri sendiri," ujar dia.
Agar setiap tahun prediksi pemerintah tidak meleset, kata dia, PT Pertamina (Persero) seharusnya berani menerapkan penggunaan energi alternatif, salah satunya adalah gas.
"Saya sudah bilang berulang-ulang mengenai pentingnya penggunaan energi alternatif," ujarnya.
Apabila penggunaan energi alternatif terlaksana, nantinya masyarakat tidak hanya mengandalkan bahan bakar Premium. Cara lain untuk mengatasi kurangnya pasokan, kata dia, adalah dengan menekan 2 persen pertumbuhan ekonomi.
"Jangan hanya terus-menerus berproduksi, tapi kehabisan pasokan bahan bakar," katanya.
Namun solusi itu dinilai berisiko karena dapat mematikan sektor industri yang berakibat kepada pengangguran dan kriminal.
Sedangkan mengenai kemungkinan naiknya permintaan solar, Kurtubi memprediksi hal tersebut tidak terjadi. Sebab solar lebih banyak digunakan untuk sektor industri ketimbang oleh individu. Kegiatan industri umumnya menurun di bulan Ramadan hingga Idul Fitri.
Menurut Kurtubi kebiasaan mengimpor bahan bakar secara dadakan adalah hal yang merugikan.
"Pihak-pihak seperti trader cenderung memberikan harga sesuka hati apabila dilakukan dadakan, ini kan menyangkut anggaran negara," ujarnya.
PT Pertamina berencana mengimpor 1,5 juta kiloliter Premium untuk mengantisipasi lonjakan permintaan bahan bakar. Impor dibagi dalam dua tahap, masing-masing sebanyak 900 ribu barel dan 600 ribu barel.
SATWIKA MOVEMENTI