TEMPO.CO, New York - Saham-saham di bursa pada perdagangan akhir pekan ini berhasil melonjak lebih dari 200 poin, dipicu oleh meningkatnya data tenaga kerja. Meskipun laba emiten sebagian besar melambat dan harapan yang mengecewakan dari The Fed untuk melakukan stimulus lebih agresif, indeks patokan S&P 500 berhasil menguat dan ditutup pada level tertinggi dalam tiga bulan terakhir.
Beberapa pendapatan perusahaan telah mengesankan dari saham yang cukup bertahan, seperti sekor utilitas mampu mempertahankan momentum penilaian para pemodal. Pemicu utama lonjakan harga saham kali ini adalah rilis dari Departemen Tenaga Kerja Amerika bahwa daftar gaji baru di bulan Juli kemarin bertambah 163 ribu, tertinggi dalam lima bulan terakhir. Namun, tingkat pengangguran meningkat tipis menjadi 8,3 persen.
Dalam perdagangan semalam, indeks Dow Jones industri berhasil melonjak 217,29 poin (1,69 persen) menjadi 13.096,17. Indeks S&P 500 menguat 25,99 poin (1,9 persen) menjadi 1.390,99, serta indeks saham teknologi Nasdaq juga melesat 58,13 poin (2 persen) menjadi 2.967,9.
“Meskipun cukup banyak pesimisme di pasar, namum saham sangat jauh lebih menarik daripada obligasi, seperti Johnson & Johnson (JNJ) yang membayar dividen lebih tinggi dari obligasi korporat,” kata Bruce Zessar, direktur manajer Advisor Research di Chicago. “Seorang investor akan lebih untung memegang saham daripada berinvestasi di obligasi selama sepuluh tahun ke depan, kendati harga saham bergerak naik turun karena adanya harapan dividen,” ucapnya.
Berdasarkan pengalaman, pendapatan dari dividen dan harga saham yang murah lebih menguntungkan dibanding imbal hasil obligasi, di mana untuk tenor sepuluh tahun jatuh ke level terendahnya dalam sebulan terakhir. Jadi saham masih menjanjikan di saat kondisi buruk.
Setelah The Fed (Bank Sentral AS) dan Bank Sentral Eropa (ECB) tidak mengambil langkah agresif untuk memacu pertumbuhan, pasar dilanda kekecewaan karena sudah lama dinantikan sebelumnya dan indeks S&P 500 sempat turun 0,7 persen, menyusul komentar dari ECB.
Saham-saham yang mendukung kenaikan tentunya sektor yang cukup defensif, seperti telekomunikasi. Sepertinya investor tidak mau melepas saham di sektor ini sehingga indeks telekomunikasi berhasil melonjak 18,6 persen, lebih dari dua kali lipat indeks S&P sepanjang tahun ini.
REUTERS | VIVA B.K.