TEMPO.CO, Seoul-Apa yang Anda bayangkan jika mendengar negara Korea Selatan. Kini bagi kaum remaja, kata Korea bak candu. Sebab demam Korea atau Hallyu sudah menjangkiti para gadis-gadis di Indonesia dan juga sebagian pemudanya.
Tapi Korea tak hanya sekedar Hallyu, ada kebangkitan ekonomi Asia, ada infrastruktur kota yang mumpuni dan ada tempat wisata yang layak dijual. Termasuk museum. Museum di Korea adalah salah satu andalan pariwisata negeri penjual gingseng.
Selama tiga pekan di Korea (Juli-Agustus 2012), saya hanya bisa menjelajah empat museum, dua di Seoul, dan dua di Gwangju. Museum pertama yang dijajaki adalah Seodamun Prison History Hall. Sebuah museum yang dibangun dari penjara, tepatnya penjara politik yang berdiri sejak 21 Oktober 1908. Sebuah simbol perlawanan dari perjuangan kemerdekaan Korea dari Jepang.
Meski masih ada sisa simbol-simbol penyiksaan, berkunjung ke Seodamun tak menyeramkan. Gedungnya berwarna merah bata, lebih mirip kawasan sekolah ketimbang hotel prodeo. Tempatnya terawat dan tertata apik, cocok untuk jadi latar belakang penyuka hobi fotografi. Untuk masuk, pengunjung dewasa dibebankan 1,500 won ( Rp 13,500).
Dari pintu masuk, pengunjung diarahkan masuk ke teater yang memutar sejarah museum. Lalu tur pun bergulir ke tempat-tempat penyiksaan hingga kisah sejumlah tahanan terkenal, seperti tahanan perempuan pertama Yu Gwansun. Menurut pemandu kami, hingga kini jenazah Gwansun masih misteri. Sebab ia meninggal dalam penjara tanpa diketahui dimana pemakamannya.
Bagi saya yang menarik adalah kisah ransum para tahanan. Sebab mereka punya pengukuran khusus. Nama ransumnya adalah kata, campuran serealia yang terdiri dari 50 persen kacang-kacangan, 30 persen gandum dan 20 persen beras merah. Tercatat ada 9-10 tingkatan kata, dan distribusinya tergantung alasan narapidana dipenjara.
Museum ini tambah menarik karena tampilan multimedia. Ada televisi layar sentuh yang memaparkan data tiap narapidana secara lengkap dengan alasan kenapa dia dipenjara. Lalu ada permainan cahaya yang bisa menunjukkan seakan-akan ada bayangan yang sedang ditangkap dan diinterogasi.
Sisanya tak lebih seperti penjara biasa. Bahkan teman saya dari Burma, Htoo Cit berujar : "Di Burma penyiksaan seperti ini masih berlangsung." Artinya derita kuku normal dicabut, disetrum listrik hingga disiram air dingin masih terjadi di negara anggota ASEAN tersebut.
Begitu pula rekan dari Iraq, Ali Anbori mengatakan, penyiksaan di negaranya bahkan bisa lebih buruk. Sebab ada penjara yang benar-benar penjara dan banyak pula, penjara yang tak diketahui penjara. Tur ke penjara memang bukan untuk saling membandingkan kekerasan dan kekejaman, tapi pengingat bahwa kekerasan selalu menyisakan nestapa. Rampung dari penjara, beralihlah ke No Gun Ri Museum (2)
DIANING SARI