TEMPO.CO , Jakarta - Bangunan dua lantai bergaya kolonial itu tampak megah berdiri di antara kumuhnya Pasar Ikan di Penjaringan, Jakarta Utara.
Begitu masuk ke dalamnya, Anda akan disambut seorang petugas tak berseragam yang menjual karcis. Satu tiket dibanderol Rp 2.000, tanpa peduli dewasa maupun anak-anak.
Itulah gambaran saat akan memasuki Museum Bahari. Satu-satunya museum yang ada di Jakarta Utara.
Secara umum, kondisi gedung yang dibangun bertahap pada 1718 hingga 1778 ini masih bagus. Tak terlihat retakan di dindingnya yang dicat putih, senada dengan warna ubinnya. Hanya ada satu-dua, di antara puluhan jendela yang kayunya keropos.
Hanya saja, kondisi gedung yang utuh itu tak terlihat pada koleksi yang tersimpan di dalamnya. Sebanyak 850 koleksi berupa keramik-keramik yang ditemukan dalam bangkai kapal, berbagai jenis kayu sebagai bahan pembuat kapal, foto-foto perjalanan sejarah bahari Nusantara, berbagai peralatan navigasi, hingga awetan berbagai biota laut tampak berdebu.
"Tadi miniatur kapalnya juga ada yang rusak, jangkarnya patah," kata Wahyu, seorang pengunjung pada Tempo, Rabu, 29 Agustus 2012. Tak banyak sebenarnya pengunjung di museum itu. Hanya ada lima wisatawan, selain Tempo, yang berkeliling di bekas gudang rempah kompeni ini.
Minimnya pengunjung museum diakui Kepala Seksi Edukasi dan Pameran Museum Bahari Irfal Guci. Menurut dia, dalam sebulan, rata-rata penghasilan museum dari penjualan karcis hanya Rp 3,5 juta.
Dibagi harga tiket yang tiap lembarnya Rp 2.000, maka per hari rata-rata museum ini hanya mendapat tak lebih dari 60 wisatawan. "Kondisinya memang begini, sepi," ujarnya.
Pendapatan itu tak seberapa dibanding biaya konservasi yang dibutuhkan. Tahun ini misalnya, pemerintah memberi jatah Rp 4,5 miliar untuk perawatan dan operasional di kompleks yang luasnya mencapai 8000 meter persegi itu.
Anggaran sebesar itu, menurut Irfal, paling banyak dihabiskan untuk perawatan gedung dan lingkungan di sekitarnya. "Kami agak bermasalah dengan drainase, apalagi lokasi sekitar kan pasar ikan, jadi kotor," katanya. Selain itu, lembabnya udara di dekat pantai juga membuat cat lebih cepat mengelupas, begitu juga kayu yang cepat keropos.
Agar tak terus membebani anggaran, Irfal mengusulkan agar manajemen museum dikelola oleh swasta dengan kepemilikan tetap oleh pemerintah. "Jika (manajemen) tetap di bawah pemerintah ya mungkin akan begini saja," katanya.
Salah satu museum swasta yang cukup "berhasil" di Indonesia adalah Museum Ullen Sentalu. Museum yang menyimpan koleksi berbagai pusaka dan lukisan tentang budaya Jawa di Kaliurang, Yogyakarta, ini banyak menyedot minat wisatawan lokal dan asing. Semuanya terawat dengan baik.
Tenaga pemandu yang disediakan pun tak hanya berseragam rapi, tapi juga terlatih. Konsekuensinya, pengunjung memang harus membayar lebih mahal, yakni Rp 25 ribu untuk wisatawan lokal dan Rp 50 ribu bagi turis asing.
PINGIT ARIA
Berita terpopuler lainnya:
Curhat Polisi Soal Tragedi Syiah di Sampang
Yusril: Saya Tak Bermaksud Hina Presiden
Menteri Lingkungan Imbau Pria Pipis Sambil Duduk
Dahlan: Tidak Ada yang Mau Beli Djakarta Lloyd
NU: Syiah Tidak Sesat, Hanya Berbeda
Sipilis Jangkiti Para Aktor Film Porno AS
''R'', Si Provokator Penyerangan Syiah di Sampang
Drogba-Anelka Terancam Dilego Shanghai Shenhua
La Nyalla Tantang AFC
SBY Pidato, Anak-Anak Tidur