TEMPO.CO, Jakarta - Senior Regional Economist RBS, Erik Lueth menegaskan meski sama-sama mengalami defisit pada neraca berjalan, penyebab defisit di India dan Indonesia berbeda. "India defisit karena membiayai konsumsi pemerintah, Indonesia karena investasi tinggi, (impor untuk) produksi tinggi. Tak bisa dibandingkan," ujar Erik saat memaparkan proyeksi perekonomian Indonesia, Kamis, 30 Agustus 2012.
Erik menilai wajar kondisi defisit neraca berjalan pada negara pasar berkembang seperti Indonesia. "Ketika Anda ada di tahap awal pembangunan, Anda akan defisit. Ini sangat normal bagi Indonesia," ujarnya. Pada kondisi ini, impor meningkat seiring dengan pertumbuhan investasi.
Menurutnya, yang terpenting adalah defisit terjadi lantaran impor untuk kebutuhan produksi bukan konsumsi. Erik memandang positif langkah Bank Indonesia menerapkan kebijakan uang muka untuk menahan laju impor barang untuk kebutuhan konsumsi masyarakat.
Seperti diketahui, bank sentral menerapkan aturan uang muka kredit perumahan dan kendaraan bermotor mulai pertengahan Juni 2012 untuk menekan pertumbuhan kredit konsumsi. Melalui kebijakan ini, BI sekaligus meredam kemungkinan terjadinya overheating (pemanasan ekonomi) pada sektor konsumsi.
Erik berujar Indonesia tak perlu khawatir dengan potensi overheating yang disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang terlalu cepat. "Pertumbuhan kredit 25 persen tahun ini tak masalah. Rasio Kredit terhadap PDB (produk domestik bruto) masih sangat rendah," kata dia. Lagipula, BI sudah mengantisipasi dengan kebijakan uang muka minimal kredit.
MARTHA THERTINA