TEMPO.CO , Mentawai: Pulau Siberut di Mentawai kini menjadi tempat terakhir untuk melihat kehidupan tradisional Mentawai yang masih bertahan. Di pedalaman Siberut ini kita masih menyaksikan punen, atau pesta adat, melihat lelaki mengolah sagu dan meramu racun panah, atau melihat Sikerei (dukun dan ahli tumbuhan obat) menari mengusir roh dengan dedaunan dan lonceng di tangan.
Dalam sebuah perjalanan ke Siberut pekan lalu, saya menginap di salah satu uma milik Bajak Aman Sabaogok di tepi Sungai Silaoinan. Banyak yang menarik selama beberapa hari di pedalaman Siberut. Di antaranya lelaki di Mentawai yang gemar berburu.
Ini ditandai dengan banyaknya tengkorak-tengkorak rusa, monyet, babi hutan, burung, kelelawar yang digantung di pintu masuk uma (rumah adat suku Mentawai) sebagai hiasan dan kenang-kenangan hasil berburu.
Mereka berburu dengan menggunakan panah dengan anak panah yang diolesi ramuan beracun. Koi Kojik, 38 tahun, salah seorang lelaki yang gemar berburu meramu sendiri racun untuk anak panahnya dari bahan ramuan yang ada di sekitar rumahnya.
Ramuan itu terdiri dari sepuluh lembar daun raggi, beberapa butir cabe rawit, dan akar atau kulit kayu laingik yang digiling halus dan diperas dengan penjepit kayu, tanpa tersentuh tangan. Lalu cairannya dioleskan ke anak panah dengan kuas dari bulu monyet.
Anak panah itu lalu dijemur di panas matahari dan disimpan dalam tabung bambu. “Tidak boleh terkena tangan, kalau terkena sedikit saja kalau tidak dipotong tidak ada harapan hidup, tidak ada binatang yang dapat bertahan lama setelah terkena racun panah itu meskipun hanya ekornya yang terkena,” kata Koi Kojik.
FEBRIANTI
Berita lain:
Kemacetan Ancam Pariwisata Bali
Seniman Tiga Negara Ini Ngamen di Ullen Sentalu
Jak-Japan Matsuri Digelar Mulai 23 September
Obyek Wisata Dieng Butuh Lahan Parkir Baru
Yogyakarta Tuan Rumah Festival Seni Budaya Hindu
Dari Hulu ke Hilir, Festival Kopi Indonesia