TEMPO.CO, Labuan Bajo - “Welcome to Komodo National Park, Loh Buaya.” Begitulah tulisan yang tertera pada papan selamat datang di depan pintu gerbang dermaga Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur. Di sebelah kayu tulis, terpampang gambar larangan membawa senapan, menyalakan api unggun, memotong pepohonan, serta melepas jangkar ke dasar laut.
Untuk melihat komodo di Pulau Rinca, tiap turis harus didampingi penjaga hutan atau ranger. Waktu Tempo melancong ke sana, Ahad, 30 September 2012, Pak Safiana-lah ranger yang bertugas mengawal pendakian. (Baca juga: Trip Murah Meriah ke Taman Nasional Komodo Jilid 1). Kata Pak Safiana, seorang ranger hanya boleh mendampingi lima turis. Kalau ada enam orang, harus ada dua ranger. Alasannya, bila jumlah turis dalam satu kelompok terlalu banyak, ranger akan kewalahan waktu menghalau komodo yang mendekat.
Baca Juga:
Dari tepi laut, ia mengajak kami berjalan sejauh satu kilometer menuju pos pembayaran tiket masuk. Untuk itu, kami melewati pemandangan gunung kapur dan lahan penanaman bibit pohon bakau. Tiap semaian bakau ada papan kecil bertuliskan nama si penyumbang bibit dan tanggal penanaman.
Di pos masuk, wisatawan lokal diminta membayar karcis sebesar Rp 10 ribu plus pajak daerah Rp 20 ribu per kepala. Sedangkan turis asing dikenakan tarif Rp 50 ribu dan pajak Rp 50 ribu per orang. Perbedaan harga berlaku juga pada kamera potret. Turis mancanegara harus membayar Rp 50 ribu, sedangkan bagi wisatawan lokal cukup Rp 5.000 per kamera. Untuk ranger, kami diminta upah sebesar Rp 50 ribu per grup. Tapi, kata Pak Safiana, semua uang tidak masuk ke kantongnya. Setengah penghasilan itu diserahkan ke kas pemerintah daerah.
Di Pulau Rinca, ada tiga jalur pendakian. Pendek, sedang, dan panjang. Atas pertimbangan waktu, kami mengambil jalur sedang. Belum lagi beranjak jauh dari pos penjualan tiket, setidaknya ada tujuh biawak purba mejeng di depan mata. Mereka melata di bawah pondokan para ranger yang dibangun layaknya rumah panggung. Hewan berdarah dingin itu tergiur akan aroma masakan dari dapur asrama penjaga hutan.
Pak Safiana bilang, di Pulau Rinca, komodo lebih mudah ditemui ketimbang di Pulau Komodo. Sebab, populasi biawak purba di pulau ini sangat tinggi. Tercatat mencapai 1.336 komodo pada 2011. Sedangkan di Pulau Komodo hanya 1.200-an ekor.
Takjub melihat si Komo, Tempo langsung menjepretkan kamera potret. Tiba-tiba Pak Safiana menegur setengah teriak. “Awas, Mbak! Hati-hati, itu komodonya dekat kaki.” Ternyata jarak satu meter dari kaki Tempo merebah seekor komodo. Warnanya cokelat muda, berdebu pasir. Karena rona badan yang tak beda jauh dengan tanah tempatnya menapak, sekilas komodo itu tidak terlihat. Perlahan Tempo menjauh. Tidak boleh kaget, apalagi lari. Sebab, bakal memancing kadal besar itu untuk mengejar.
Komodo jantan di dekat kaki Tempo itu sebetulnya tak lagi bisa berlari. Sebab, tulang kakinya patah. Berusia 35 tahun, kini si komodo hanya bisa jalan jarak dekat dan memakan sisa buruan kawan-kawannya. Ia tidak lagi bisa berburu. Pak Safiana bercerita, si Komo pincang gara-gara berkelahi dengan komodo jantan lainnya. Sebabnya adalah masalah betina. "Dia kalah bertarung. Hasilnya, patah tulang dan patah hati,” ujar Safiana. (Baca lanjutannya di: Trip Murah Meriah ke Taman Nasional Komodo Jilid 3)
CORNILA DESYANA
Berita lain:
Wisata Sepeda ke Singapura 3 Hari Cuma Rp 3,9 Juta
Kota Yogya Peringati Ultah tanpa Java Carnival
Gunung Bromo Waspada, Pengunjung Dibatasi
Kafe di Jepang Tawarkan Teman Tidur Cantik
Situs Gunung Padang Butuh Tempat Sampah