TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi minum teh tak eksklusif adalah milik orang Inggris dan Cina. Di Jepang, ada upacara minum teh yang sangat lekat dengan aliran zen dalam agama Buddha. Inti dari ajaran itu, membuat harmoni antara lingkungan dan alam sekitar. Upacara ini juga menjadi cara penghormatan tuan rumah kepada tamu. Jadi, untuk meminumnya, perlu upacara dan tata krama yang sangat spesifik.
Pakar teh alias tea connoisseur, Ratna Somantri, mengatakan, ada banyak aliran upacara minum teh ala Jepang atau sadou. Tapi, untuk cara minum teh yang lebih kasual, cara penyajiannya ada dua. Pada saat peluncuran produk minuman kemasan, Mirai Ocha, beberapa waktu lalu di Four Seasons Hotel, Jakarta, ia sempat menunjukkan kedua cara tersebut.
Cara pertama, Kyushu, mengambil dari nama pulau terbesar ketiga di Jepang. Daun teh hijau atau macha ia masukkan ke dalam mangkuk yang ukurannya pas segenggaman tangan. Sebuah teko berisi air panas kemudian masuk ke dalam mangkuk tersebut. Gerakannya memutari bagian dalam mangkuk dan sangat perlahan. “Suhu air sebaiknya tidak lebih dari 50 derajat Celsius supaya tidak merusak daun tehnya,” ujarnya. Kemudian tunggu maksimal dua menit. Lebih dari waktu tersebut, teh akan terasa pahit.
Tapi, karena terlalu asyik mengobrol, dua menit pun berlalu menjadi lima menit. Air panas habis terserap oleh daun. Terpaksa wanita berwajah oriental ini menyeduhnya kembali. Setelah itu, dengan memiringkan sedikit tutup mangkuk, teh langsung dapat diminum. “Tutupnya berfungsi sebagai penyaring supaya daun tidak ikut termakan,” kata Ratna.
Saya pun mencobanya. Rasa teh hijau ini ternyata sangat berbeda dengan yang umum disajikan di restoran. Kental dan terasa seperti memakan rumput laut. Ada rasa asin dan bau tanah. Setelah air habis pun, tekstur dan keasinannya masih terasa di mulut. Bentuk daun teh hijau yang Ratna pakai panjang, tipis, dan mengkilap. “Ini grade medium. Kalau yang premium, rasanya bisa seperti kuah soto,” ujarnya.
Cara kedua, Kyoto, mengambil nama sebuah kota tua di jantung Pulau Honshu. Penyajiannya mirip dengan tradisi di Cina. Teh diseduh dalam teko kemudian dibagi-bagikan dalam gelas kecil-kecil. Suhu air dan lamanya menyeduh tidak berbeda dengan cara yang pertama.
Sadou tentu lebih rumit dari itu. Tradisi ini sudah ada sejak beratus-ratus tahun silam. Pengaruhnya dari tempat asal teh, Cina. Ruangan untuk upacara minum teh ala Jepang didesain khusus. Tidak terlalu besar. Maksimum untuk empat tamu. Untuk masuk ke dalam ruangan, para tamu harus membungkuk karena tingginya pintu tidak lebih dari semeter.
Secara singkat, proses Sadou demikian. Tuan rumah terlebih dahulu membersihkan mangkuk yang nantinya berfungsi sebagai cangkir. Setelah itu, ia mengambil macha yang bentuknya bubuk dengan memakai sendok kayu yang sangat tipis dan kecil. Takarannya sangat bergantung pada kepandaian pemilik rumah menyajikannya supaya teh tidak terlalu hambar atau pahit.
Selesai memasukkan macha ke dalam mangkuk atau cawan, proses menyeduh pun dimulai. Pengambilan air panasnya berasal dari tungku dengan memakai penyiduk dari bambu atau hishaku. Setelah air masuk, tuan rumah mengaduk macha dengan sebuah kuas tebal yang disebut chasen. Gerakan mengaduknya seperti mengocok sampai air bebuih.
Setelah proses ini selesai, tuan rumah tinggal menyuguhkan tehnya. Motif terbaik dari mangkuk harus berada di hadapan tamu. Tamu memberi hormat terlebih dahulu sebelum mengambilnya dengan tangan kanan. Telapak tangan kiri memegang bagian bawah mangkuk. Kemudian ia memutar mangkuk supaya motif yang cantik menghadap ke tuan rumah. Setelah habis, cawan kembali diletakkan di hadapan kaki orang yang duduk bersimpuh.
Di selasar Hotel Four Seasons, Ratna tampak menunjukkan tata krama dari Sadou. Dengan memakai kimono dan rambut tersanggul, ia duduk dengan kaki terlipat ke belakang. Di hadapannya terdapat meja kecil dengan peralatan “seadanya”, yakni teko, mangkuk, dan cangkir. Saat menyajikan, gerakan tangan dan gesture badannya sangat tenang dan halus. Ia juga ramah berbicara dengan orang di sekitarnya.
Perempuan yang mendalami soal teh sejak 2005 ini mendapat ilmu dari seorang pemilik kebun teh di Kyoto. Ia juga sering ke Jepang untuk melengkapi koleksi tehnya. Menurut dia, jika disuguhkan dengan benar, teh tidak memerlukan gula. “Sebenarnya teh tidak pahit,” kata penulis buku Kisah dan Khasiat Teh ini.
SORTA TOBING
Berita Lain:
2 Juta Akun Twitter Aktif di Indonesia Setiap Hari
30 Juta, Pengguna Akun Twitter di Indonesia
Awas Polizei, Dukungan The Brandals untuk KPK
Akustikan Blues Bill Sims Jr. Pukau Penonton
Jokowi Terkenang Ular 4 Meter di Loji Gandrung