TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi khawatir gugatan perdata yang diajukan Markas Besar Polri sengaja dilakukan oknum tertentu yang ingin mengganggu jalannya penyidikan kasus suap pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi. Gugatan Mabes senilai Rp 431 miliar didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis lalu.
"Kami khawatir sekali ini cara oknum tertentu mengacaukan proses penyidikan kasus simulator yang secara tak langsung dapat diklasifikasi melawan perintah Kepala Polri untuk menyerahkan kasus simulator ke KPK," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui layanan pesan pendek, Ahad, 28 Oktober 2012.
Gugatan Polri ke KPK juga diharap Bambang bukan karena kepentingan salah satu tersangka kasus simulator. "Semoga ini bukan kepentingan satu-dua pengacara yang tidak berpikir jernih dan mendalam soal cara menjaga institusi, karena hanya membela kepentingan sempit kliennya semata," ujarnya.
Korlantas menuntut ganti rugi Rp 431 miliar karena KPK dianggap telah melakukan pelanggaran dalam proses penggeledahan. Gugatan diajukan tiga pengacara Mabes, yakni Hotma Sitompul, Juniver Girsang, dan Tommy Sihotang. Ketiganya juga berstatus pengacara tersangka kasus simulator, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Kepala Korlantas, Inspektur Jenderal Puji Hartanto, menyebut gugatan dilayangkan karena hingga kini Komisi tidak memberi kepastian nasib dokumen yang disita dalam penggeledahan. Menurut Puji, sebagian dari dokumen yang disita KPK tidak terkait kasus suap simulator, melainkan pengadaan lainnya.
Korlantas, kata Puji, sebelumnya sudah mengirim surat ke KPK yang intinya meminta agar dokumen yang tidak terkait kasus simulator, dikembalikan. Surat itu direspon KPK. Mereka meminta Mabes agar mengirimkan rincian dokumen yang dinilai tak terkait kasus simulator.
Oleh Mabes, permintaan KPK ditanggapi dengan mengirim daftar dokumen yang dimaksud. Namun hingga kini, surat terakhir yang mengatasnamakan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo itu belum berbalas. Sikap tak acuh KPK inilah yang dinilai Mabes mengganggu kinerja lembaganya. Apalagi surat sudah dikirim lebih dari sebulan lalu.
ISMA SAVITRI