TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengarah Asosiasi Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) Amir Karamoy menilai kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah gerai minimarket maksimal 150 telah mematikan pemegang franchise lokal. “Kebijakan ini lebih mengena ke franchise lokal karena franchise asing sedikit yang bermain di sana,” kata Amir ketika dihubungi di Jakarta, Kamis, 1 November 2012.
Menurut Amir, baru sedikit pemegang franchise asing yang memiliki gerai lebih dari 150 unit. Artinya, hanya pemegang franchise lokal yang terpengaruh pembatasan ini. “Yang paling menerima dampak, ya, franchise lokal seperti Indomaret atau Alfamart. Kalau Hypermart, Carrefour, tidak akan terpengaruh,” katanya.
WALI menilai peraturan ini seharusnya tak berlaku surut. Artinya, perusahaan yang sudah telanjur memiliki ribuan gerai tidak seharusnya dikenakan kebijakan ini. Pasalnya, sulit bagi sebuah perusahaan untuk menjual ribuan gerainya dalam waktu lima tahun. Ia mencontohkan, misalnya Alfamart memiliki 4.000 gerai, berarti dalam lima tahun mereka harus menjual 3.850 gerai. “Sulit sekali dalam lima tahun. Dalam setahun, saya prediksi kapasitas gerai yang bisa dijual paling 50 gerai,” katanya.
Selain itu, perusahaan juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menjual gerai itu, misalnya untuk marketing atau rekrutmen. Belum lagi mencari pembeli gerai yang memiliki visi dan misi serupa. Secara materiil, Amir memprediksi, franchisor tidak akan merugi secara signifikan. Kalau gerai yang dimiliki sudah untung, harganya justru akan lebih mahal. “Beban lebih kepada harus menjual gerai dalam waktu lima tahun itu,” katanya.
WALI menyadari pemerintah bertujuan menekan monopoli dengan kebijakan ini. Tapi, untuk mengurangi monopoli, solusi yang tepat bukan dengan pembatasan. Pendekatan yang harus dilakukan pemerintah harus positif, bukan negatif dengan pembatasan.
Baca Juga:
Salah satu solusi yang ditawarkan pengusaha, misalnya membuat skema insentif. Pemerintah bisa memberikan insentif sehingga bisa memicu pengusaha lokal untuk ikut mewaralaba gerai tertentu. “Pengurusan izin juga bisa dipermudah,” katanya.
Perkembangan industri waralaba Indonesia dimulai saat pengusaha Bambang N. Rahmadi membuat terobosan dengan mengembangkan McDonalds di Indonesia. Perkembangan McDonalds memicu perkembangan waralaba lokal. “Lalu kita kenal Es Teler 77. Itu kan dari 1990-an, mulainya dari situ, kata Ali.
Dari 1990-an hingga kini, industri waralaba telah berkembang pesat. Menurut Amir, beberapa faktor menjadi penyebab pesatnya perkembangan industri waralaba. Pertama, industri ini menawarkan win-win solution, baik bagi franchisor maupun franchise. Franchisor mendapatkan keuntungan karena dapat fee, sementara franchise mendapat keuntungan dari menjual produk. Kedua, jenis usaha ini menciptakan dan mengembangkan entrepreneurship dan menciptakan lapangan kerja.
ANANDA W. TERESIA