TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat transportasi dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Yoga Adiwinarto, mengatakan kenaikan anggaran Dinas Perhubungan bukanlah satu-satunya cara meningkatkan kualitas pelayanan Transjakarta. “Audit di bidang perawatan yang melibatkan operator sebagai pemilik bus akan lebih efektif meningkatkan kualitas bus Transjakarta,” kata Yoga kepada Tempo, 12 November 2012.
Hal itu dia sampaikan untuk menanggapi permintaan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana, agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan nilai anggaran Dinas Perhubungan dari 5 persen menjadi 7 persen dari angka total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta 2013, yang diperkirakan mencapai Rp 45 triliun.
Kenaikan nilai anggaran, menurut Triwisaksana, diperlukan karena pemerintah berencana menambah 450 armada bus. Dia juga mengusulkan agar pemerintah mengganti merek bus yang kini digunakan menjadi Mercedes-Benz atau Volvo. "Kalau pakai mesin sekarang, kan katanya sering terbakar," kata Triwisaksana, Senin, 12 November 2012.
Sebaliknya, Yoga menilai masalah terbakarnya bus Transjakarta seringkali bukan berasal dari mesin milik merek bus. “Berdasarkan laporan dari polisi yang kami pelajari, terbakarnya bus seringkali disebabkan korslet sistem listrik. Itu yang menentukan adalah kualitas rakitan karoseri,” tutur dia. Menurut dia, pabrikan bus yang kini digunakan--yakni Daewoo, Hyundai, dan Hino--biasanya hanya memberikan sasis dan mesin, sedangkan perakitannya dilakukan karoseri lokal.
Dia bukannya tak mendukung bus Transjakarta menggunakan bus bermerek Mercedes-Benz atau Volvo--yang dinilai berkualitas lebih baik. Hanya, dalam mekanisme lelang terbuka, pemerintah biasanya tak boleh menentukan spesifikasi bus. “Bisa-bisa dituntut karena mematikan persaingan usaha. Itu harus diperhitungkan,” ujar Yoga.
Ia pun menyebutkan, pada awal 2011, pihaknya pernah menjajaki pembelian bus dari Mercedes-Benz untuk bus Transjakarta. Namun, saat itu, mereka tak memiliki spesifikasi bus yang dibutuhkan, yakni bus gandeng berdek tinggi dan menggunakan bahan bakar gas. Begitu juga yang terjadi dengan pabrikan bus merek Volvo.
Selain itu, Yoga menambahkan, pemerintah tak lantas harus menyediakan dana lebih jika ingin menambah armada bus Transjakarta. Pasalnya, perawatan bus akan lebih terjamin jika pihak operator menjadi pemilik bus. “Kalau mereka yang membeli bus dan memiliki aset, sense of belonging-nya akan lebih tinggi, lebih mau merawat,” kata dia. Pihak operator pun perlu menjalin kontrak dengan pabrik bus agar mendapat layanan perawatan resmi selama bus digunakan.
Sistem penyediaan bus yang dilakukan operator seperti ini sudah dilakukan pada busway koridor 12, yang sebentar lagi akan beroperasi. Lelang merek bus yang digunakan juga dilakukan secara terpisah dari lelang operator. “Dengan begitu, pada saat lelang tender, operator tak asal menentukan merek bus. Pemerintah sudah menentukan bus yang akan digunakan,” ujar Yoga.
Yang tak kalah penting, Transjakarta harus melakukan audit perawatan untuk mengetahui apakah perawatan bus sudah sesuai dengan prosedur. Saat ini, menurut Yoga, pihak Transjakarta hanya menerima Lembar Pemeriksaan Sebelum Beroperasi (LPSB) dari operator. “Setahu kami, dalam kontrak tak disebutkan bahwa pihak Transjakarta secara berkala bisa masuk ke pool untuk memeriksa sendiri,” katanya.
ANGGRITA DESYANI