TEMPO.CO, Jakarta - Semua orang kenal ikon dunia mode Indonesia, Musa Widyatmodjo, 46 tahun. Ia dikenal gemar mengawinkan kain tradisional dengan gaya kontemporer. Menghasilkan banyak karya luar biasa, karya-karyanya digauli banyak penyanyi atau selebritas papan atas seperti Titiek Puspa, aktris Ayu Dyah Pasha, Titi Sjuman, dan sederet figur publik lainnya.
Lulusan desain mode Drexel University, Philadelphia, Amerika Serikat, ini sudah menunjukkan prestasinya sejak kuliah. Ia menyabet penghargaan Cibby Markel pada 1986 dari kampusnya. Sebuah penghargaan mahasiswa berbakat dalam bidang mode. Lalu, pada usia 22 tahun, ia menjadi semifinalis American Leather Design di Philadelphia dan finalis Concour des Jeuneus Creature de Mode, di New York, Amerika.
Meski sudah populer, Musa mengaku tidak ingin secepat kilat menjadi perancang ternama. "Saya mau meninggal ketika sedang top," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia (APPMI) ini saat ditemui Sorta Tobing, Heru Triyono, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo dari Tempo, Selasa lalu, di Nannini Grill, Plaza Senayan, Jakarta.
Menurut Anda, apakah Jakarta Fashion Week dan pergelaran busana lainnya benar-benar membantu perkembangan mode di Indonesia?
Jelas membantu. Orang menjadi sadar mode adalah industri. Mode itu duit, bukan hanya bersenang-senang dan pamer baju. Ada nilai di dalamnya, seperti nilai politik dan ekonomi. Lihat saja baju kotak-kotak Jokowi (Gubernur DKI Jakarta). Namun semuanya perlu konsistensi dan komitmen. Perlu waktu untuk tumbuh dan berkembang. Jangan maunya sudah jadi saja.
Kalau tujuan pergelaran busana itu mencari pembeli, apakah di Indonesia potensi pasarnya besar?
Memang betul tujuannya mencari pembeli, dan itu memang terjadi. Tetapi (di Indonesia) masih kategori dini sekali. Pertanyaannya, apakah perancang siap menyediakan pesanan yang diminta pembeli. Misalnya, kita sudah terima order banyak, tetapi mendadak perajin tenun atau batiknya minta izin mudik karena anaknya sunatan. Mode kita masih dalam taraf itu. Harus sabar menunggu proses industri ini. Tidak bisa langsung jadi.
Lalu, bagaimana geliat mode Indonesia saat ini?
Orang Indonesia itu paling hebat berdandan. Merek internasional semuanya ada di sini, dan antre mau masuk. Di Malaysia dan Singapura memang ada merek itu, tapi yang beli siapa? Orang Indonesia. Sejak Hermes dan Valentino buka di Indonesia, penjualan di Singapura turun drastis. Itu fakta. Tas-tas termahal di dunia, seperti merek Dior, di Indonesia dipakai. Harganya bisa Rp 500 juta. Tapi sayang, kadang salah kaprah.
Maksudnya?
Tas Hermes di sini dipadukan dengan kebaya. Itu salah. Acara formal, ya, tasnya formal. Kalau pesta juga jangan pakai Hermes. Hermes itu kasual. Jangan asal gaya. Di Indonesia jelas pakemnya. Misalnya, kalau pakai kebaya, ya, pakai sandal selop, jangan sepatu pantofel. Lihat wanita Jepang. Kimono, ya, pakai sandal. Di kita, pemahaman akan tradisi minus. Padahal tradisi itu warisan. Bagi saya, tradisi tidak bisa dikompromikan. Semua ada filosofinya.
Apakah produk mode lokal di Indonesia berpotensi mendunia?
Potensinya gila. Anda jangan salah. Kerajinan kulit di Garut itu banyak diekspor ke Paris. Yang pakai adalah perancang ternama Prancis, Thierry Mugler. Kita ini kreatif, tapi kadang bingung mau jual ke mana. Sekarang saya tanya, berapa banyak sih pengusaha Indonesia yang bersedia mengembangkan mode lokal. Tidak banyak. Semua maunya jual barang franchise.
Tetapi di negeri sendiri, produk mode lokal kerap dipandang miring?
Memang masih ada. Setiap ada yang memakai batik, disindir. Perhatikan saja. Mau kondangan ya, mau sunatan ya. Bisanya merendahkan tradisi sendiri. Itu masih terjadi. Ironisnya, batik yang dipakai juga cuma batik printing. Alasannya, batik asli mahal. Padahal, dengan harga Rp 300 ribu, bagusnya minta ampun. Tapi harus datang sendiri ke daerah. Jangan tidak mau repot.
Menurut Anda, negara mana yang kuat memegang tradisi modenya?
Korea, Thailand, Malaysia, India, dan Jepang. Mereka bangga dengan modenya. Di Jepang, orang pakai kimono di Harajuku itu normal. Di Indonesia, selesai wisuda, para remaja ganti kebayanya dengan baju modern. Seperti malu dan risi.
Saat ini barometer mode Indonesia di mana saja?
Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Namun Makassar sudah mulai berkembang. Tapi tetap pusatnya di Jakarta. Jakarta ini cepat sekali. Saya juga bingung. Yang lagi mode di Milan tiba-tiba sudah ada di Jakarta. Namun ada juga yang tertipu dengan barang palsu. Saya sering bilang, ketimbang pakai barang palsu, mending pakai barang bagus di kelasnya. Itu namanya menipu diri sendiri.
Apa yang membuat Anda memutuskan menjadi perancang?
Passion. Saya tidak suka berhitung, meski tidak bisa menggambar juga. Tapi sejak dulu saya suka mengamati cara orang berpakaian. Orang tua sebenarnya ingin saya menjadi seorang bankir. Tapi saya tidak mau. Saya menjelaskan ke ayah bahwa saya mau sukses dengan cara sendiri.
Adakah yang menginspirasi Anda?
Inspirasi saya waktu itu dari baca buku-buku mode. Dulu yang sedang terkenal adalah mode Lady Diana.
Bagaimana Anda kemudian memulai usaha di industri mode ini?
Saya mulai pada 1991, dimulai dari garasi rumah. Saat itu saya meminjam mesin jahit orang tua untuk mengerjakan pesanan teman adik. Saya dibantu seseorang yang putus sekolah untuk memasang kancing dan menyetrika. Seiring waktu, mulai ada kenalan yang minta dibuatkan baju. Tapi saya masih meminjam uang ke orang tua untuk modal membeli mesin obras dan mesin lubang kancing. Syukurnya, usaha itu semakin berkembang. Kemudian saya mendirikan PT Musa Atelier. Pada perjalanannya, perusahaan itu memiliki beberapa lini. Ada koleksi eksklusif berupa gaun malam, kain bernuansa etnik, juga merek “M by Musa”, untuk pakaian siap pakai yang tersebar di berbagai department store, dan “Musa Co”, yang menggarap seragam kerja perbankan, penerbangan, perhotelan, dan lainnya. Saat ini perusahaan saya bisa memproduksi 1.500 pakaian dalam sebulan.
Selain mengajar di beberapa kampus, Anda juga mengajar di Badan Intelijen Negara. Apa yang Anda ajarkan?
Saya mengajar bapak-bapak dan ibu-ibu intelijen, juga diplomat. Saya mengajar citra dan etika berbusana. Logikanya, seorang intelijen perlu berpakaian bagus. Misalnya bagaimana pakaian saat menyamar atau saat bertugas lainnya. Misalnya untuk diplomat, ada makan malam kenegaraan, kongres internasional, atau jamuan makan malam. Saya ajari mereka memakai kain tradisional yang benar.
Apakah diplomat dan agen intelijen Indonesia banyak yang salah kostum?
Ya. Misalnya mereka mengenakan dasi kepanjangan atau memakai batik palsu. Atau juga mereka menenteng tas mahal yang tidak sesuai dengan acaranya.
Anda masih menyimpan “mimpi”?
Saya ingin seperti perancang Channel. Kalau Anda ke Paris, yang Anda cari adalah produk Channel. Channel bisa jadi seperti sekarang setelah sekian puluh tahun dan setelah ia meninggal. Saya merencanakan, setelah saya meninggal, orang kalau mau beli produk mode Indonesia, mereka membeli produk Musa Widyatmodjo.
HERU TRIYONO