TEMPO.CO, Bandung - Budayawan Acep Iwan Saidi menilai, aksi cium tangan Ketua DPP Partai Demokrat, Sutan Bathoegana, terkait pernyataannya yang dianggap mencemarkan nama baik Mantan Presiden Abdurrahman Wahid, terhadap Shinta Nuriyah isteri almarhum Gus Dur merupakan tindakan yang berlebihan, artifisial dan agak berbau politis.
"Penyelesaian cukup dengan membuat pernyataan di media, menjelaskan duduk perkaranya, lantas minta maaf,” katanya di Bandung, pada Sabtu, 1 Desember 2012.
Acep juga menilai sikap Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang turut meminta maaf atas nama partai Demokrat pada 27 November 2012 lalu, menegaskan bahwa ia membawa permasalahan ini ke wilayah partai. "Padahal ini murni kesalahan Sutan secara pribadi dan tidak ada kaitannya dengan partai,a' ujarnya.
Menurut Acep, reaksi masyarakat simpatisan Almarhum Gus Dur itu sebagai persoalan interpretasi. Terdapat tafsir atas sebuah pernyataan seseorang yg tafsir itu kemudian dikirim ke publik. Publik lantas memahami tafsir tersebut secara harafiah. Dalam komunitas tafsir, tidak ada kesalahpahaman, yang ada adalah tafsir yang berbeda.
“Saya lihat simpatisan Gus Dur masih wajar, kok. Saya juga yakin mereka tahu kalau Gus Dur masih hidup, mungkin beliau tidak akan bereaksi berlebihan. Mungkin beliau juga akan bilang, gitu aja kok repot,” kata dia.
Acep berharap kasus ini jadi pelajara bagi tokoh publik lain di masa depan. Tokoh publik itu mesti memahami bahwa mereka adalah pelayan publik, bukan penguasa publik. "Mereka boleh menduduki sebuah jabatan kuasa, tapi tidak akan pernah menguasai hati dan pikiran publik," katanya.
Koordinator Jaringan Kerjasama Antar Umat Beragama (Jakatarub) Wawan Gunawan menambahkan, nuansa politis ini karena Gus Dur masih memiliki kekuatan sebagai simbol pengikat komunitas politik tertentu.
"Yang harus dilakukan adalah menuntut keadilan informasi agar tidak terjadi salah tanggap oleh publik, apakah Gus Dur betul korupsi atau ini merupakan salah satu pembunuhan karakter," katanya.
SONIA FITRI | ENI S