TEMPO.CO, Jakarta- Pemerintah diimbau untuk turun tangan untuk menjembatani penyelesaian kekisruhan persebakbolaan nasional agar tercipta satu wadah kompetisi sepak bola yang berkualitas dan menghasilkan tim nasional yang kuat. Imbauan ini dilontarkan mantan Ketua Umum PSSI yang juga Ketua Dewan Kehormatan PSSI, Agum Gumelar, di Jakarta, kemarin.
Imbauan yang sekaligus rasa prihatin Agum itu disampaikan menyusul kekalahan tim sepak bola Indonesia 2-0 melawan Malaysia pada pertandingan babak penyisihan Grup B Piala AFF. Kekalahan ini membuat tim Indonesia gagal maju ke babak semifinal. Indonesia sebetulnya hanya membutuhkan hasil imbang, sementara Malaysia harus menang agar dapat lolos ke babak semifinal.
“Entah bagaimana caranya, pemerintah harus turun tangan, yang penting jangan berpihak. Pemerintah tidak boleh memihak, karena kalau memihak kisruh di persepakbolaan nasional dapat bertambah keruh,” tutur Agum.
Agum khawatir kalau masalah persepakbolaan nasional itu tak kunjung selesai, Federasi Asosiasi Sepakbola Internasional (FIFA) akan menghukum Indonesia. ”Dampaknya akan jauh lebih buruk dari sekarang. Kalau kita kena sanksi dilarang bertanding dan beraktivitas di persepakbolaan internasional, kita tak bisa berhubungan dengan dunia luar dalam masalah sepak bola. Tidak ada kesebelasan yang mengundang dan kita juga tidak bisa bertanding keluar,” kata dia.
Dengan adanya friksi ini, kata Agum, dirinya sejak awal merasa pesimistis dengan prestasi timnas di Piala AFF. ”Sebab, ibarat negara mau perang, mana mungkin menang perang kalau tentaranya terpecah-pecah. Bagaimana mungkin kita bisa punya tim yang kuat kalau di dalam negeri seperti ini?” Agum menjelaskan.
Sampai saat ini ada dua kubu yang mengklaim sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia. Di satu kubu, ada PSSI hasil kongres Solo di bawah kepemimpinan Djohar Arifin. Pada kubu lain, ada PSSI bentukan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang dipimpin La Nyala Mattalitti.
Dua kepengurusan itu juga menghasilkan dualisme kompetisi sepak bola di Indonesia, yakni Liga Primer Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI). Dualisme ini membuat para pemain kesulitan memperkuat tim nasional, khususnya pemain dari klub anggota LSI, karena tidak mendapat izin dari klub mereka.
Agum juga mengimbau kubu Djohar Arifin dan La Nyalla untuk menanggalkan ego masing-masing dan melakukan rekonsiliasi. Agum mengingatkan kegagalan tim Indonesia maju ke babak semifinal Piala AFF akibat dualisme kepengurusan tersebut.
Menurut Agum, kompetisi adalah jantung pembinaan olahraga dan pemain menjadi besar karena mengikuti kompetisi. “Dengan terpecahnya kompetisi, kekuatan timnas menjadi tidak penuh karena sejumlah pemain terbaik tak bisa bergabung,” Agum melanjutkan.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Agum mengimbau kedua kubu yang berseteru harus secepatnya bertemu dan membuat kesepakatan bersama. ”Demi bangsa, sisihkan ego masing-masing. Kalau masing-masing merasa benar dan bertahan, yang jadi korban adalah timnas,” ujarnya.
GADI MAKITAN