Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, Dewi J. Putriatni mengatakan, saat ini potensi geothermal di dua gunung tersebut telah memasuki tahap survei akhir. Ia berharap, pada triwulan I 2013, Arjuno dan Welirang mendapat status WKP dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Potensinya diprediksi sebesar 200 megawatt.
Bagi Dewi, Provinsi Jatim menyimpan potensi panas bumi cukup besar dengan sebaran 11 titik. Dari jumlah itu, baru tiga titik yang tereksplorasi, yaitu WKP Gunung Ijen oleh Medco Cahaya Energi, WKP Telaga Ngebel di bawah Bakrie Energi dan WKP Hiyang Argopuro oleh Pertamina Geothermal Energi.
"Untuk Ijen dan Ngebel masing-masing potensinya 110 megawatt. Khusus titik potensi panas bumi yang belum disurvei, saya belum tahu potensinya. Hanya melihat manifestasinya berapa," kata Dewi, Selasa 18 Desember 2012.
Dari tiga titik, baru dua WKP yang tereksplorasi, yakni Ijen dan Ngebel. Sebab potensi panas bumi Ijen dan Ngebel tak masuk kawasan hutan konservasi. Berbeda dengan WKP panas bumi di lereng Gunung Hiyang Argopuro milik Pertamina Geothermal Energi. Dewi melihat, WKP panas bumi di Argopuro masuk kawasan hutan lindung yang memerlukan izin penggunaan hutan lindung dari Kementerian Kehutanan.
"Pertamina Geothermal terkendala karena masuk hutan konservasi," imbuhnya.
Pakar geothermal Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Widya Utama menuturkan potensi panas bumi Gunung Arjuno- Welirang sebesar 265 megawatt. Ia merujuk data PT Elnusa yang telah merampungkan survei di dua gunung tersebut. Ihwal investasi yang dibutuhkan, Widya menyebut pada kisaran US$ 5 juta per 1 megawatt.
"Itu mulai dari eksplorasi hingga benar-benar menghasilkan listrik, cukup mahal memang," kata Widya kepada Tempo. Tahun depan, ujarnya, ITS sendiri berencana menindaklanjuti temuan PT Elnusa tersebut.
Karena investasi sangat mahal, dia berharap ada kepastian iklim usaha bagi pengembangan panas bumi. Bagi Widya, regulasi revisi tarif listrik panas bumi yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 tahun 2012, bukan jaminan bagi investor panas bumi.
Menurut dia, kebijakan yang komprehensif lebih mendesak seperti halnya revisi UU 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi. Isu sensitif yang wajib direvisi terkait istilah pertambangan menjadi usaha jasa. Perubahan nama, lanjutnya, agar pengusahaan panas bumi lebih mudah masuk kawasan hutan konservasi.
"Investasi panas bumi ini sangat beresiko tinggi. Jadi butuh kepastian hukum, sama halnya di migas. Selain itu, pemerintah juga harus memberi insentif di sektor hulu panas bumi," katanya.
DIANANTA P. SUMEDI