TEMPO.CO, Yogkarta--Puluhan mahasiswa Pasca-Sarjana jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengunjungi komunitas pekerja seks "Surti Berdaya" di kawasan Terminal Giwangan, Yogyakarta, Selasa, 18 Desember 2012.
Peneliti senior Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi, Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial , Universitas Gadjah Mada (UGM), Anna Marie Wattie, mengatakan kunjungan kali pertama ke lokalisasi ini merupakan bagian dari proses belajar di kelas, yang membahas seksualitas, budaya, dan masyarakat.
"Agar mahasiswa tak hanya mengenal teori, namun mengenal langsung persoalan sosial di lapangan. Kami akan membahasnya di kelas setelah berbicara dengan anggota komunitas pekerja seks di sini," kata dia kepada Tempo.
Menurutnya, komunitas pekerja seks di Terminal Giwangan dipilih karena aksesnya gampang. UGM tidak perlu mengajukan surat ijin dengan proses yang lama untuk mendatangi komunitas di Giwangan. "Kebetulan saya kenal dengan ketua komunitasnya sehingga gampang masuk," katanya.
Ia mengatakan pekerja seks merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan. Stigma negatif juga melekat pada pekerja seks karena mereka menabrak norma-norma sosial. "Status sebagai pekerja seks dianggap rendah. Pekerjaan yang bersifat rekreasi atau kesenangan ini dianggap rendah oleh sebagian masyarakat karena melanggar norma atau bukan sesuatu yang ideal," katanya.
Menurut Anna, pekerja seks selama ini seringkali menjadi korban pelecehan karena persoalan ketimpangan gender. "Ada persoalan kekuasaan karena budaya patriakhi. Kalau laki-laki yang menjalankan seks dianggap biasa," katanya.
Ia berpandangan persoalan sosial itu sangat kompleks sehingga diperlukan banyak pendekatan untuk menyelesaikannya. Pendekatan sosial ekonomi diperlukan untuk menyelesaikan persoalan itu. "Ada ketimpangan ekonomi yang membuat pekerja seks harus menjalankan aktivitas itu," katanya.
Pendekatan moral, kata dia juga masih relevan digunakan di Indonesia untuk menyelesaikan persoalan sosial. "Indonesia masih sangat erat dengan norma-norma sosial jadi pendekatan itu masih diperlukan," ujar dia.
Sementara itu, salah satu mahasiswa Pasca-Sarjana Jurusan Antropologi UGM, Febri, dalam kesempatan itu banyak bertanya tentang bagimana para pekerja seks bertahan hidup dan menjalankan pekerjaannya. "Bagaimana dengan anak saat tahu ibunya menjadi pekerja seks," tanyanya.
SHINTA MAHARANI