TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Andy Noorsaman Sommeng, menjelaskan, rencana investasi BPH Migas senilai Rp 100 miliar pada 2013 akan meliputi beberapa sistem teknologi informasi. Dana tersebut tidak hanya untuk membuat ruang pantau dan kendali pasokan BBM bersubsidi yang disebutnya war room.
Andy mengatakan, ada tiga proyek TI yang akan dikembangkan BPH Migas pada tahun depan. Pertama adalah teknologi tagging atau penanda untuk membedakan BBM bersubsidi. "Jadi ada teknologi penanda di BBM-nya, nanti bisa di-tag dari mana asal dan tujuan BBM," kata Andy ketika ditemui usai Malam Penganugerahan Penghargaan Efisiensi Energi Nasional 2012, di Jakarta, Kamis malam, 20 Desember 2012.
Teknologi kedua adalah pusat kendali dan monitor yang akan memonitor ketersediaan bahan bakar minyak secara nasional yang disebutnya war room. Ketiga adalah untuk pengumpulan data pengguna BBM bersubsidi seperti angkutan umum dan nelayan. "Ini bisa menggunakan radio frequency identification (RFID), kartu pintar, atau barcode," kata Andy.
Andy belum memberi gambaran yang jelas berapa besaran biaya masing-masing teknologi pengawas penyaluran BBM bersubidi ini. Namun, dalam perkiraan awal, Andy mengatakan ketiga program ini akan mendapat anggaran sekitar Rp 30 miliar. "Rp 100 miliar akan dibagi tiga sama rata, tapi nanti akan kami lihat lagi karena konsepnya harus disiapkan dengan baik," kata lelaki yang menjadi Kepala BPH Migas sejak Januari 2012 ini.
Anggota Komite BPH Migas ketika dihubungi secara terpisah menyatakan bahwa keberhasilan pengendalian BBM bersubsidi tahun depan tak cukup dicapai dengan teknologi. Nantinya BPH Migas juga akan menyiapkan sejumlah ketentuan tambahan untuk mengatur penyaluran BBM bersubsidi. "Teknologi harus ditopang aturan, misalnya sekali isi berapa banyak. Ketentuan ini yang akan membuat teknologi ini akan efektif," kata Ibrahim.
Ibrahim mengatakan, mekanisme pengawasan subsidi di Indonesia memang harus lebih ketat dibandingkan dengan negara lain. Soalnya, subsidi yang diberikan sangat besar sehingga disparitas harga dengan yang nonsubsidi besar dan rawan disimpangkan, seperti diselundupkan ke luar negeri atau ke industri. "Di tempat lain subsidi langsung tidak masif seperti di Indonesia. Indonesia ini sudah subsidi di seluruh negeri. Perbedaan harganya besar sekali," kata Ibrahim.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan perbedaan harga yang sangat besar menyebabkan pengawasan sulit dilakukan. Selain itu, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan juga membuat pengawasan lebih sulit.
Pri mengatakan saat ini rata-rata negara yang memberikan subsidi harga BBM adalah negara-negara kaya minyak dan tak kesulitan secara keuangan untuk mensubsidi. Berbeda dengan Indonesia yang sudah menggantungkan hampir 70 persen kebutuhan bensin bersubsidi dari impor. "Di Indonesia harus ketat karena anggaran terbatas, sehingga kalau jebol jadi memberatkan. Jadi harus dibuat seperti ini," kata Pri Agung, dalam kesempatan terpisah.
BERNADETTE CHRISTINA