TEMPO.CO, Surabaya - Seorang tenaga kerja wanita asal Ponorogo, Riyatin, mengaku mendapat ancaman sepulang dari Hong Kong, tempatnya bekerja selama ini. Perempuan berusia 30 tahun itu dihadang dan diancam oleh agen pengirimnya sendiri, PT SBK. Alasannya, Riyatin dianggap masih berutang kepada PJTKI dan agen tersebut. Jika tidak membayar, agen itu mengancam membunuh Riyatin.
"Lewat telepon itu saya diancam, kalau paspor enggak dikasih, saya mau dibunuh dengan cara apa pun," kata Riyatin, Jumat 4 Januari 2013.
Baca Juga:
Sengketa ini bermula pada pertengahan 2012 lalu. Ketika itu, Riyatin menghubungi Eka Management di Ponorogo untuk menjadi buruh migran di Hong Kong. Pada 20 September 2012, Riyatin berangkat ke Hong Kong dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di sana.
Malangnya, kerja Riyatin dinilai tak memuaskan. Dia dituduh merusak baju majikannya dan sering menggunakan barang milik majikan. Karena dinilai tak cocok, baru bekerja tiga bulan, Riyatin dipulangkan ke Indonesia pada 18 November 2012.
Akibat kepulangan ini, agen pengirim TKI merasa dirugikan. Pasalnya, setiap TKW yang bekerja di Hong Kong wajib menyetorkan 3.000 dolar Hong Kong (setara dengan Rp 3,7 juta) setiap bulan selama 7 bulan kepada PJTKI dan agensi. Padahal, gaji Riyatin hanya 3.740 dolar Hong Kong atau sekitar Rp 4,6 juta. Karena hanya bekerja tiga bulan, Riyatin pun tak bisa membayar kekurangan komisi agen TKI itu.
Itulah yang membuat Riyatin dihadang ketika tiba di Bandara Juanda Surabaya pada 19 Desember 2012. Untuk memaksa Riyatin membayar, agennya sempat berusaha merebut paspor ibu satu anak itu untuk jaminan.
Koordinator Migrant Institute cabang Jawa Timur, Rini Karistijani, meminta pemerintah menertibkan aturan komisi untuk agen PJTKI ke Hong Kong ini. Dia mencontohkan buruh migran Filipina yang cuma membayar 3.000 dolar Hong Kong di awal masa kerja. Sementara buruh Indonesia membayar tujuh kali lipat lebih mahal kepada agen mereka.
Menurut Rini, agen beralasan uang itu dipakai untuk membeli tiket pulang-pergi, biaya listrik dan air selama tinggal di shelter, serta pengurusan paspor, visa, dan asuransi. Padahal, tiket pulang-pergi ditanggung sang majikan di Hong Kong.
AGITA SUKMA LISTYANTI