TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah pusat bersepakat mengubah porsi pembiayaan proyek mass rapid transit (MRT). Namun, Kepala Tim Evaluasi Proyek MRT sekaligus Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa merahasiakan besaran persentase pembiayaan proyek. “Setelah surat persetujuan diterima Gubernur DKI baru akan saya umumkan,” katanya, di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa, 15 Januari 2013.
Kesepakatan awal, porsi utang DKI dan pemerintah pusat adalah 58 persen banding 42 persen. Gubernur DKI Joko Widodo mendesak perubahan porsi menjadi 30 persen jatah DKI dan sisanya pemerintah pusat. Ada juga yang menyebut permintaan Jokowi--begitu sang gubernur biasa disapa--40 persen jatah DKI dan sisanya pemerintah pusat.
Jokowi melobi pemerintah pusat agar APBD DKI dapat mensubsidi tiket MRT dari Rp 38 ribu menjadi Rp 10 ribu. Dengan porsi awal, beban pembayaran utang pemerintah DKI kepada investor, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan subsidi tiket dinilai Jokowi memberatkan APBD.
Tim Evaluasi yang beranggotakan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Menteri Perencanangan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana menyetujui perubahan karena banyak perubahan pada proyek yang ditetapkan sejak 2005 ini.
Perubahan itu antara lain penambahan jumlah stasiun, dan penambahan panjang jalur 1,6 kilometer yang sebelumnya hanya berakhir di Dukuh Atas menjadi Bundaran Hotel Indonesia. "Nilainya juga berubah menjadi Rp 15,7 triliun,” kata Hatta.
Sementara itu, Agus Martowardojo menolak menyebutkan besaran porsi yang disepakati. "Disiapkan dulu nota-nota persetujuannya,” katanya. Ia juga bungkam mengenai dampak kesepakatan ini terhadap APBN 2013. “Masih koordinasi dulu.”
AYU PRIMA SANDI