TEMPO.CO, Jakarta - Tingginya impor dari luar negeri, khususnya bahan bakar minyak, memicu lonjakan permintaan dolar di pasar domestik sehingga membebani rupiah.
Di transaksi pasar uang kemarin, rupiah melemah 7 poin (0,07 persen) ke level 9.625 per dolar Amerika Serikat (AS).
Analis dari PT Monex Investindo Futures, Yohanes Ginting, mengatakan nilai impor yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor masih membebani pergerakan rupiah.
Meski sentimen global dan domestik membaik, masalah defisit masih akan terus menekan rupiah. “Potensi penguatan rupiah baru akan terbuka apabila ada perbaikan signifikan dari sisi ekspor.”
Tingginya kebutuhan impor sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dalam negeri membuat permintaan dolar meningkat. Di sisi lain, likuiditas dolar di dalam negeri minim lantaran investor enggan menjual dolarnya. Kondisi ini membuat Bank Indonesia mau tak mau harus melakukan intervensi untuk menjaga keseimbangan mata uang.
Baca Juga:
Menurut Yohanes, posisi rupiah saat ini tidak merepresentasikan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang terus membaik. Di pasar modal, indeks saham masih cenderung positif. Pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih terjaga.
“Iklim investasi yang baik seharusnya mendorong investor asing masuk ke dalam negeri dan mengkonversikan dolarnya, tapi ini tidak.”
Artinya, ada yang salah dengan kebijakan pemerintah sehingga investor asing belum menambah porsi investasinya di dalam negeri. Ia menunjuk impor BBM sebagai salah satu yang paling banyak menyedot dolar di pasar domestik.
Meski Bank Indonesia telah meminta Pertamina untuk membeli dolar hanya dari bank lokal yang ditentukan, kebijakan itu tidak efektif.
Dari regional, hingga 16.45 WIB dolar Singapura ditransaksikan di 1,2263 per dolar AS, dolar Hong Kong 7,7534 per dolar AS, won 1.066,18 per dolar AS. Kemudian yuan 6,2185 per dolar AS, dan ringgit 3,043 per dolar AS.
M. AZHAR | PDAT