TEMPO.CO, Jakarta - Sebagai partai besar, faksionalisasi di dalam internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak bisa dihindari. Sejumlah pengamat politik kerap menyebutkan ada dua kubu besar di tubuh PKS: Faksi Keadilan dan Faksi Sejahtera.
Dosen politik Universitas Indonesia yang juga peneliti PKS, Arief Munandar, mengoreksi anggapan lama tersebut. "Di dalam PKS, yang terjadi bukan faksionalisasi yang kaku. Yang ada adalah faksionalisasi yang terjadi secara dinamis," katanya dalam diskusi di kantor Tempo, Selasa lalu, 5 Februari 2013.
"Jadi tidak ada faksionalisasi tradisional di mana faksi-faksi yang terdikotomi secara rigid," kata Arief, yang disertasinya mengupas seluk-beluk PKS ini. Dia juga menolak asumsi ada Faksi Keadilan dan Faksi Sejahtera di dalam PKS. Karena tidak ada dikotomi yang tegas, maka tidak mudah menggolongkan kader PKS yang mana yang masuk dalam faksi yang mana.
"Betul faksionalisasi ada, tapi tidak serigid yang dibayangkan orang," kata Arief. Menurut Arief, faksionalisasi di PKS terjadi antara kelompok yang lebih berorientasi pada gerakan religius (religious movement oriented) dan kelompok yang berorientasi pada partai politik (political party oriented).
Faksionalisasi ini muncul karena ada perbedaan cara pandang di antara kader PKS dalam melihat mana tujuan partai yang seharusnya diutamakan. "Kelompok religious movement oriented, misalnya, melihat PKS adalah gerakan dakwah, dan partai hanya baju," kata Arief.
Sebagai baju, maka partai bisa berganti-ganti kapan saja. Misalnya, ketika kader merasa sudah tidak cocok lagi atau partai tidak lulus electoral treshold dalam pemilu, PKS bisa saja dibubarkan dan kembali menjadi organisasi kemasyarakatan. "Tapi kelompok political party oriented melihat PKS sudah jadi partai, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan strategi partai politik harus diadopsi semua," lanjut Arief.
Perbedaan cara pandang inilah yang kerap menjadi pertimbangan dan mempengaruhi strategi politik dan gerakan PKS dalam lanskap politik negeri ini.
AMIRULLAH