TEMPO.CO, Yogyakarta - Puluhan pembantu rumah tangga (PRT) yang tergabung dalam Jaringan Perlindungan Pembantu Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta menggelar unjuk rasa dalam peringatan Hari PRT di DPRD dan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Jumat, 15 Februari 2013.
Dalam aksi para asisten yang semuanya perempuan itu, mereka membawa wajan dan tampah untuk menutup wajah. Tiap wajan ditempeli satu huruf yang membentuk kalimat: “Sahkan UU PRT”. Mereka juga menutup wajah dengan tampah dengan tulisan berupa tuntutan, mulai dari cuti haid, upah dan jam kerja layak, serta tunjangan hari raya dan kesehatan.
Koordinator aksi, Sayuti, menjelaskan, berdasarkan data yang dikumpulkan organisasinya sejak 2008, sekitar 25 persen pembantu di Yogyakarta mengalami kekerasan ekonomi. “Masih banyak anggota PRT di Yogya yang tak digaji layak. Sebulan ada yang mendapat Rp 150-300 ribu untuk jam kerja lebih dari 12 jam,” kata dia. Jumlah pembantu di Yogyakarta berdasarkan sensus penduduk tercatat 6000 orang. Namun, hanya 500 orang yang menjadi anggota organisasi.
Menurut Sayuti, yang sering tak mendapat sorotan adalah pekerja di bawah umur 18 tahun. Saat ini organisasinya mengadvokasi seorang anak perempuan pekerja berusia belasan yang tak mendapat perlakuan layak. Anak itu bekerja sebagai pembantu di perumahan elite di Kabupaten Sleman. “Si majikan punya anjing 37 ekor yang juga harus dirawat setiap hari. Tapi gajinya cuma Rp 300 ribu dan sekarang menderita katarak tanpa ada upaya pengobatan,” katanya.
Para PRT itu mendesak DPRD DIY segera merealisir peraturan daerah untuk menjaminan perlindungan mereka. Selama ini persoalan tentang PRT hanya diatur Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2010. “Tanpa ada sanksi, aturan itu tidak berjalan. Kami ingin segera ada peraturan daerah yang mengatur,” ujar Sayuti.
Ketua Badan Legislatif DPRD DIY, Sadar Narima, mengakui selama ini aturan daerah tentang pembantu rumah tangga memang belum diwujudkan. Bahkan, katanya, pemerintah DIY dan DPRD tak mengusulkan perlindungan pembantu menjadi peraturan daerah. “Meski aturan pekerja sudah tercatat dalam UU Ketenagakerjaan, tapi untuk sektor informal seperti ini memang belum ada rumusan khusus,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO