TEMPO.CO, Jakarta - Pada 1993 silam, Dede Oetomo, sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, meminta mahasiswanya mengadakan survei tentang perilaku seks di kalangan mahasiswa Unair.
"Obyeknya tak jauh-jauh, mahasiswi di dalam kampus yang menerima imbalan setelah melakukan hubungan seks," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 14 Februari 2013. Para pelanggannya, jelas Dede, adalah pejabat, dosen, kakak kelas, bahkan teman sebayanya.
Menurut Dede, teknologi informasi justru menambah maraknya bisnis esek-esek antara mahasiswi dan para pelanggannya. Kalau dulu, Dede menjelaskan, hanya dari mulut ke mulut. Kini, mahasiswi penjaja seks itu bisa memanfaatkan teknologi untuk promosi dan bertransaksi dengan pelanggan yang diinginkan.
"Teknologi menunjang (bisnis seks), termasuk penggunaan telepon seluler dan BlackBerry," kata Dede.
Dede manambahkan, "ayam kampus" lebih independen dibandingkan para pekerja seks di lokalisasi semacam Dolly, Surabaya. Sebab, pemasukan para mahasiswi itu tidak harus dipotong retribusi macam-macam.
Pria yang juga menjadi pengurus Asosiasi Pekerja Seks Indonesia ini berpendapat bahwa tidak ada yang aneh dalam fenomena "ayam kampus". Ia justru menyalahkan masyarakat yang ditudingnya konservatif. "Orang muda siap untuk seks, kok ditahan? Itu problemnya, yang salah masyarakat," ujarnya. (Baca: Edisi Khusus Ayam Kampus)
AGITA SUKMA LISTYANTI | CHOIRUL
Berita Lain:
Pengakuan Kolega Maharani Suciyono: 60 Juta/Bulan!
Doa Status BBM Anas Sama Dengan Noordin M Top
Jokowi Presiden Diteriakkan Massa Rieke-Teten
Anas Mundur Bisa Dianggap Pahlawan Demokrasi
'Ayam Kampus' Rela Bolos Kuliah Demi Tamu