TEMPO.CO, Jakarta - Sengsara benar menjadi Wawan, 11 tahun. Penyandang tunawicara sejak kecil itu sehari-hari bekerja sebagai pemulung. Untuk selingan, anak yang tinggal di permukiman pemulung Kebagusan Raya, Pasar Minggu, itu bersekolah di Sanggar Langit Biru Kebagusan.
Pada Rabu lalu, 20 Februari 2013, ia terkena tetanus. Kuman itu masuk melalui luka di lengannya akibat tergores seng sekitar tiga hari sebelumnya. Ia pun dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih, Jakarta Timur. Jumat lalu, 22 Februari 2013, Wawan meninggal.
Sengsara benar menjadi Wawan, bahkan sesudah ia meninggal. Selama tujuh jam jasadnya tertahan di kamar mayat rumah sakit. Padahal, untuk mengeluarkan jenazah, biasanya cuma perlu 2 jam saja. Meninggal sekitar pukul 14.00--beberapa jam setelah rumah sakit itu dikunjungi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi--jenazahnya baru bisa dibawa dari rumah sakit pada pukul 21.00.
Manajemen RS Budhi Asih menyatakan tidak tahu soal penahanan jenazah Wawan. "Saya perlu cek lagi," kata juru bicara RS Budhi Asih, Monang Sirait, Sabtu 23 Februari 2013. Namun Rendy Widanarto, 23 tahun, pengajar Wawan di Sanggar Langit Biru Kebagusan dan orang yang mengurus jenazahnya, memastikan muridnya meninggal di RS Budhi Asih. "Ada surat kematiannya," ujarnya.
Rendy mengungkapkan, rumah sakit menahan jenazah Wawan karena keluarga pemulung ini tidak mampu membayar biaya pengobatan yang mencapai Rp 8,8 juta. Rumah sakit tidak membebaskan biaya perawatan anak miskin ini karena orang tua Wawan, Bento, tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta. “Ayah dia ber-KTP Indramayu,” kata Rendy saat ditemui Tempo di sanggar tersebut, di Kebagusan, Pasar Minggu, Sabtu 23 Februari 2013.
Tanpa KTP DKI Jakarta, keluarga ini tak bisa memegang Kartu Jakarta Sehat yang dikeluarkan Pemerintah DKI Jakarta. Mereka juga tidak memiliki Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Rendy dan teman-temannya yang mengajar di sanggar anak jalanan itu akhirnya patungan. Terkumpullah Rp 600 ribu dan diserahkan ke rumah sakit. Setelah bernegosiasi, rumah sakit akhirnya mengizinkan jenazah Wawan dibawa pulang. “Kekurangannya akan diobrolkan lagi Senin besok dengan rumah sakit,” kata Rendy.
Rendy juga harus patungan lagi untuk menyewa mobil ambulans yang mengirim jenazah muridnya itu ke Indramayu, kampung halaman Wawan. Rumah sakit menawarkan sewa ambulans Rp 2 juta. Beruntung kemudian Rendy ditawari ambulans lain oleh sebuah yayasan dengan biaya sewa Rp 950 ribu. Jumat dinihari lalu, jenazah Wawan tiba di kampung halamannya dan dikuburkan Sabtu kemarin.
Kini Wawan sudah tenang. Simak berita layanan publik untuk warga miskin lainnya di sini.
M. ANDI PERDANA | SYAILENDRA | NURHASIM