TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai) mengeluhkan kurangnya dukungan dan kepedulian pemerintah terhadap komoditas kakao. Akibatnya, petani kakao sulit meningkatkan kualitas produksi sehingga sulit diterima pasar ekspor yang makin ketat. “Dari total produksi kakao nasional, hanya 60 persen yang masuk kualitas ekspor. Sisanya masih berkualitas rendah dan tak layak ekspor. Hanya bisa diterima oleh pasar terbatas,” kata Ketua Umum Apkai Arif Zamroni kepada Tempo, Rabu, 13 Maret 2013.
Arif menilai, pemerintah terlalu berfokus pada pemberian bibit untuk petani namun kurang memperhatikan pemeliharaannya. Padahal, petani membutuhkan banyak pendampingan terkait peningkatan kualitas.
Di sisi lain, beberapa negara pengimpor biji kakao memperketat kriteria kualitas kakao. Kriteria utama, kakao kualitas ekspor harus berbiji besar, atau maksimal satu kilogram berisi 100 biji kakao. Kriteria selanjutnya, kandungan jamur dan kotoran tidak boleh melebihi satu persen. Kemudian, kadar air yang terkandung dalam kakao harus berada di kisaran 6-8 persen.
“Seharusnya hasil pajak ekspor kakao dikembalikan kepada petani agar bisa digunakan untuk memperbaiki kualitas tanaman,” kata Arif.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir, menyatakan, pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao nomor satu dunia. Karena itulah, pemerintah menargetkan produksi kakao bisa mencapai 1,5 juta ton pada 2014 dengan produktivitas hingga 1,5 ton per hektare. “Tahun kemarin produksi belum banyak meningkat karena kakao dari program Gerakan Nasional Kakao belum berbuah."
ROSALINA